Stigma terhadap pesantren sebagai lembaga tradisional dan tertinggal tidak lahir tiba-tiba; ia tumbuh dari sejarah panjang westernisasi dan modernisasi pendidikan yang perlahan menggerus akar peradaban Islam Nusantara.

KOSONGSATU.ID— Narasi besar tentang peran pesantren dalam membangun bangsa jarang muncul di ruang publik. Media lebih sering menyoroti sisi gelap: kekerasan, perundungan, atau figur glamor para kiai muda. Akibatnya, pesantren kerap direduksi sekadar latar peristiwa, bukan subjek sejarah.

Padahal, menurut sejarawan Nahdlatul Ulama almarhum Agus Sunyoto, pesantren dahulu adalah benteng perjuangan. Ia mencatat, pada masa penjajahan Belanda antara tahun 1800–1900, kalangan santri dan ustaz melakukan lebih dari 112 pemberontakan, merujuk laporan resmi pemerintah kolonial.

Namun, semua itu berubah ketika westernisasi pendidikan mulai menjamur pada abad ke-19. “Frekuensi pesantren berperang menurun seiring munculnya sekolah modern,” ujar Agus dalam diskusi “Mengurai Hubungan Resolusi Jihad dan Hari Pahlawan” tahun 2015.

Sekolah-sekolah bergaya Barat mulai menyaingi pesantren. Nilai-nilai Islam yang menanamkan semangat bela negara pun perlahan terkikis. Agus mengingatkan, jika arus ini tidak dijaga, eksistensi pesantren akan tergerus zaman. “Pesantren sejak lama telah menjaga identitas bangsa Indonesia,” katanya tegas.

Dari Ilmu Universal ke Fikih-Oriented

Menurut Agus Sunyoto, perubahan orientasi pesantren terjadi pada akhir abad ke-17. Sebelumnya, pesantren mempelajari ilmu yang sangat luas: ibadah, fikih, falak, filsafat, hingga politik dan teknologi. Namun sejak bangsa kita kehilangan kemampuan membaca Kitab Aksara Jawa karya para Wali Songo, ruang ilmu itu menyempit.

“Mulai abad ke-17, pesantren hanya berorientasi pada fikih,” jelas Agus. Ia menyebutnya “malapetaka peradaban” karena penjajahan Belanda berhasil “mengobrak-abrik sejarah.”

Kekalahan Belanda dalam Perang Diponegoro (1832) membuat mereka menempuh politik balas budi. Mereka mendirikan sekolah-sekolah modern yang mengklaim “mencerdaskan” pribumi, padahal justru mengadu Islam modern dengan Islam tradisional.

“Kelompok Islam modern itulah yang kemudian dimanfaatkan Belanda untuk diadu dengan kelompok Islam yang dianggap primitif,” pungkas Agus.

Ilustrasi santri dan kemerdekaan Indonesia: kontribusi, peran, dan relevansi masa kini. – majelismasyayikh.id

Ketika Negara Mulai Melupakan Pesantren

Setelah Indonesia merdeka, posisi pesantren kian terpinggirkan. Alih-alih dianggap warisan pendidikan khas Nusantara, ia justru dilabeli “tradisional” dan tertinggal. Modernisasi pendidikan nasional tahun 1950-an memperkuat anggapan itu.

Kurikulum nasional yang seragam dan berorientasi Barat menempatkan ilmu agama di posisi pinggir, sementara nilai-nilai spiritual dan sosial pesantren diabaikan.

Pada dekade 1970–1980-an, banyak pesantren mulai beradaptasi: membuka madrasah, menambah kurikulum umum, bahkan mendirikan universitas. Namun, seperti dicatat Zamakhsyari Dhofier, modernisasi itu justru “mengkerdilkan” makna pesantren—dari lembaga pembentuk peradaban menjadi sekadar lembaga pendidikan.