BKKBN mengungkap 34 persen anak muda Indonesia hidup dalam kesepian akibat terlalu sering bermain ponsel. Dari remaja hingga orang tua, semua terjebak dalam ilusi kedekatan digital.
KOSONGSATU.ID — Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atau Kepala BKKBN, Wihaji, mengungkapkan data mencengangkan: dari total 68 juta anak usia 10–24 tahun di Indonesia, sebanyak 34 persen hidup dalam kesepian akibat terlalu sering menggunakan ponsel.
“Ada keluarga baru” handphone. Ketika anak ngobrol dengan orang tua, kadang tidak didengarkan,” ujar Wihaji dalam acara Young Health Summit 2025 yang digelar daring di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia pun menggambarkan kondisi miris di banyak keluarga saat ini, di mana anak-anak lebih dekat dengan ponsel daripada dengan orang tuanya. Bahkan, momen makan bersama yang dulu hangat kini berubah dingin oleh layar digital.
“Saat makan bareng-bareng, masing-masing memegang handphone sendiri-sendiri,” tambahnya.
BKKBN mencatat, rata-rata pelajar SMA kini menggunakan ponsel selama 7–8 jam per hari. Akibatnya, banyak remaja lebih memilih mencari solusi hidup lewat internet ketimbang berbicara langsung dengan keluarga atau sahabat.
“Hati-hati, teknologi boleh berkembang, tapi jangan sampai teknologi mengatur otak kita,” tegas Wihaji.
Tak Hanya Remaja, Orang Dewasa Pun Sepi
Fenomena kesepian digital juga melanda orang dewasa. Penelitian Jessica Gorman dari Oregon State University dan Brian Primack menemukan bahwa semakin sering seseorang menggunakan media sosial, semakin besar risiko merasa kesepian.
“Mereka yang berada di 25 persen pengguna media sosial paling aktif punya kemungkinan dua kali lipat merasa kesepian dibanding yang jarang membuka medsos,” ungkap Primack, dikutip dari laman Earth (3/10).
Bahkan, menurut Gorman, individu menjelang masa pensiun juga mengalami hal serupa. Kurangnya interaksi nyata dan ketergantungan pada dunia maya membuat hubungan sosial makin rapuh.
“Waktu yang dihabiskan di depan layar tidak bisa menggantikan kedekatan emosional di dunia nyata,” ujarnya.
Dampak Sosial: Toleransi Menurun, Keluarga Retak
Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi, menyebut jika remaja kini cenderung menarik diri meski berada di tengah keramaian. “Mereka lebih suka menyendiri. Bahkan saat diajak bicara, kehadiran orang lain dianggap mengganggu,” katanya.
Sigit menegaskan, kecanduan gawai membuat remaja kehilangan toleransi terhadap lingkungan sosialnya. “Karena rendahnya toleransi, mereka jadi sulit bekerja sama—baik di rumah maupun di sekolah,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menyoroti dampak serius di rumah tangga. Hubungan anak dan orang tua kian renggang, bahkan muncul kekerasan verbal. “Mayoritas gangguan mental itu terjadi di keluarga. Anak sekarang tak segan melawan orang tua,” ujarnya.
Sigit juga menambahkan, di kota-kota besar, penyebab perceraian tertinggi kini bukan lagi faktor ekonomi, melainkan media sosial dan penggunaan handphone yang berlebihan. “Kalau di kota besar, perceraian tertinggi sekarang bukan karena ekonomi, tapi karena HP,” pungkasnya.***




Tinggalkan Balasan