Keputusan Majelis hakim dalam kasus impor gula, yang menjerat Tom Lembong, memicu perdebatan baru. Bukan karena vonisnya, melainkan karena hakim menghitung sendiri kerugian negara, tidak merujuk pada audit resmi BPKP.


KOSONGSATU.ID—Ari Yusuf Amir, kuasa hukum Tom, menyebut hal itu sebagai tindakan di luar batas kewenangan. Menurutnya, majelis mengabaikan audit BPKP, dan justru menyusun perhitungan sendiri berdasarkan potensi kerugian, bukan kerugian aktual.

“Pada akhirnya, majelis hakim yang menghitung kerugian negara. Jadi, seluruh hasil audit BPKP gugur,” kata Ari, dalam keterangan tertulis, Ahad, 20 Juli 2025.

Ia menjelaskan, angka yang digunakan hakim mengacu pada untung yang seharusnya bisa diraih PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai BUMN penugasan. Angka itu bukan nilai kerugian yang benar-benar terjadi. Karena itulah, menurutnya, hitungan itu lemah sebagai dasar hukum.

“Dihukum satu hari pun, Pak Tom akan tetap banding,” tegas Ari.

Langkah hakim ini lantas menimbulkan pertanyaan besar: bolehkah pengadilan menghitung sendiri kerugian negara? Apakah hal itu masuk dalam kewenangan hakim?

Dirangkum dari berbagai sumber, secara konstitusional, hukum Indonesia menyebut hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara. Ketentuan ini tercantum dalam UU 15/2006 dan diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012.

BPKP dan auditor lain boleh melakukan audit teknis, tetapi tidak bisa menetapkan secara resmi bahwa negara telah dirugikan. Tugas itu eksklusif milik BPK.

Bahkan, hakim pun, menurut norma tersebut, seharusnya hanya menilai validitas audit—bukan menyusun hitungan baru dari nol.

Namun, dalam praktiknya, batas ini sering kali kabur.

Bagaimana Menurut Mahkamah Agung?

Mahkamah Agung (MA), lewat Surat Edaran Nomor 4/2016, memang menyatakan hakim bisa menilai besaran kerugian berdasarkan fakta persidangan. Tapi, edaran itu juga menegaskan bahwa satu-satunya lembaga yang berwenang menyatakan kerugian negara hanyalah BPK.

Mantan Ketua MA, Hatta Ali, pernah mengatakan bahwa edaran itu tidak bersifat mutlak. Ia menyebut hakim bisa mengambil sikap berbeda, tergantung konteks perkara. Namun, kelonggaran semacam ini justru membuka ruang tafsir yang rawan disalahgunakan.

Berisiko Menabrak Dua Aturan

Praktisi hukum Nengah Sujana mengingatkan bahwa hakim yang menghitung sendiri kerugian negara berisiko menabrak dua prinsip dasar hukum, yaitu rule of law dan judicial restraint.

Ia menilai, tindakan semacam itu bisa mengaburkan peran lembaga dan merusak kepercayaan terhadap proses hukum.

“Jika hakim bertindak seperti auditor, maka peran institusi resmi seperti BPK jadi tak relevan. Ini bisa melemahkan pondasi hukum acara pidana kita,” tulisnya dalam kolom opini di nasionalnews.

Dalam kasus Tom Lembong, selisih angka antara hakim dan jaksa memang mencolok. Jaksa, yang merujuk audit BPKP, menyebut kerugian negara mencapai Rp578,1 miliar. Sementara hakim hanya mengakui Rp194,7 miliar.

Bahkan, unsur bea masuk dan pajak impor senilai Rp320 miliar yang dihitung jaksa, ikut dicoret oleh majelis.

Putusan ini menempatkan hakim dalam posisi ganda: sebagai pengadil sekaligus penghitung. Peran ganda ini bukan hanya menyalahi kaidah konstitusi, tapi juga menimbulkan risiko bias hukum.

Ketika dasar hitungnya tidak konsisten, bukan berasal dari lembaga resmi, maka keadilan pun kehilangan pijakan yang kuat.***