Anak muda kini ramai mengutip Marcus Aurelius dan Seneca. Tapi benarkah mereka sedang belajar ketenangan—atau cuma mencari pembenaran baru untuk apatisme sosial?
KOSONGSATU.ID—Stoikisme—filsafat Yunani-Romawi yang menekankan kendali diri dan ketenangan batin—tiba-tiba jadi mantra baru generasi muda.
Di TikTok dan Instagram, ribuan video menampilkan kutipan Marcus Aurelius: “You have power over your mind.” — “Kau punya kuasa atas pikiranmu.”
Namun, di balik tren ketenangan itu, ada kegelisahan baru: mengapa anak muda hari ini lebih memilih menjadi stoic—tabah dan dingin—daripada kritis?Apakah mereka sungguh menemukan kedamaian, atau sebenarnya sedang menyerah pada dunia yang tak terkendali?
Dari Kebijaksanaan Menjadi Komoditas
Dahulu, Stoikisme lahir dari pergulatan batin para pemimpin dan filsuf. Kini, ia hidup di antara algoritma dan iklan.
Buku-buku seperti The Daily Stoic (Renungan Harian Stoik), Ego Is the Enemy (Ego adalah Musuh), dan ribuan akun “motivasi Stoik” menjual ketenangan seperti produk: “Beli buku ini, berhenti panik.” “Jangan bereaksi, tenanglah.”
Filsafat yang seharusnya mengajarkan kebajikan berubah menjadi template gaya hidup: tenang, keren, dan tampak tak terguncang. Ketika segala hal dipermudah jadi konten 30 detik, kedalaman berpikir pun ikut menguap.
Stoikisme menjadi tren, bukan laku spiritual.
Ketenangan yang (Mungkin) Palsu
Di satu sisi, Stoikisme memberi ruang refleksi yang penting. Anak muda menghadapi dunia yang makin absurd: harga naik, konflik sosial, disinformasi, tekanan karier, dan ketidakpastian masa depan.
Namun di sisi lain, tren ini sering menjelma menjadi topeng untuk ketidakpedulian. Menjadi stoic kini dianggap keren—padahal kadang berarti tidak peduli.
Menjaga emosi berubah menjadi mematikan empati.
Dan nasihat “terima saja yang tak bisa kau ubah” bisa menjadi pembenaran untuk diam di hadapan ketidakadilan.
Filsafat yang Dipreteli dari Akar Moralnya
Marcus Aurelius tidak sedang mengajarkan cara healing (penyembuhan batin) setelah ditinggal pacar. Ia menulis Meditations (Renungan) saat memimpin perang, bergulat dengan makna hidup dan kematian.
Bagi para Stoik klasik, kebajikan (virtue) adalah inti kehidupan—bukan sekadar ketenangan batin. Namun, versi modern sering memangkas nilai itu. Yang tersisa hanyalah tips produktivitas dan “cara agar tidak baper”.
Stoikisme kehilangan dimensi etiknya, berubah menjadi terapi personal tanpa komitmen sosial.
Mengapa Anak Muda Butuh Stoikisme (dan Mengapa Mereka Harus Waspada)
Tidak bisa dipungkiri, Stoikisme menjawab kegelisahan zaman. Ia menawarkan logika sederhana di tengah dunia yang kacau: fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan, lepaskan yang tidak.
Namun, jika dijalankan tanpa kesadaran moral, Stoikisme bisa berubah jadi pelarian dari tanggung jawab sosial. Ketika dunia butuh orang-orang yang berani bersuara, terlalu banyak yang memilih untuk “tenang saja”.
Padahal, kebajikan Stoik bukan berarti diam—melainkan bertindak dengan akal sehat, bukan dengan amarah.




Tinggalkan Balasan