Lebih dari sembilan abad silam, Imam al-Ghazali menulis Misykatul Anwar — karya kecil tapi bercahaya besar. Ia bukan sekadar tafsir ayat tentang cahaya Tuhan, melainkan renungan mendalam tentang bagaimana manusia menemukan terang sejati di tengah kegelapan zaman.

KOSONGSATU.ID—Dalam kitab ini, al-Ghazali memulai dari ayat agung “Allāhu nūru as-samāwāti wal-ardh” — “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35). Ia tidak sekadar menafsirkan makna lahir ayat itu, tapi mengupas lapisan-lapisan simbol di baliknya: apa arti cahaya, bagaimana ia menembus hati manusia, dan mengapa ada tirai-tirai batin yang menutupinya.

Antara Akal dan Cahaya Hati

Al-Ghazali menulis Misykatul Anwar di masa senjanya, setelah pergulatan panjang antara logika dan spiritualitas. Ia telah melalui masa skeptisisme intelektual, lalu menemukan jalan kembali kepada Tuhan lewat pengalaman batin.

Kitab ini lahir sebagai sintesis antara dua jalan besar itu: akal dan nurani, rasionalitas dan ruhani.

Ia menulis bukan untuk semua orang. Dalam pengantarnya, ia berkata bahwa sebagian makna harus tetap “tertabir” agar tidak disalahpahami. Karena cahaya, katanya, bisa menyilaukan bagi yang belum siap menatapnya.

Tafsir Cahaya yang Tidak Pernah Padam

Dalam Misykatul Anwar, cahaya bukan hanya benda fisik. Ia adalah simbol eksistensi — Tuhan sebagai sumber segala yang ada. Semua yang hidup hanyalah “pinjaman cahaya”, dan ketika cahaya itu pergi, yang tersisa hanyalah kegelapan.

Al-Ghazali menggambarkan kehidupan spiritual seperti perjalanan di ruang gelap, di mana manusia berusaha menyingkap tabir demi tabir — hijab demi hijab — hingga akhirnya tersingkap cahaya hakiki. Tapi untuk sampai ke sana, manusia harus membersihkan jiwanya dari debu kesombongan, keserakahan, dan ilusi.

Relevansi di Tengah Dunia yang Penuh Cahaya Tapi Gelap

Kini, kita hidup di zaman yang terang benderang oleh layar, tetapi sering gelap di dalam diri. Kita punya lampu, gawai, dan notifikasi, tapi kehilangan arah.
Kita tersinari oleh teknologi, tapi jarang tersentuh oleh cahaya makna.

Di sinilah Misykatul Anwar terasa segar kembali. Ia mengingatkan bahwa cahaya sejati bukan yang datang dari luar, melainkan yang memancar dari dalam. Ia bukan milik teknologi, tapi milik hati yang tenang.

Pesannya sederhana tapi dalam: “Cahaya Tuhan tidak akan bisa menyinari hati yang belum menyingkirkan tirai-tirainya sendiri.”

Dari Niche Kuno ke Dunia Digital

Di tengah dunia yang serba instan, kitab ini menawarkan jalan lambat — jalan hening. Ia mengajak kita menafsirkan ulang makna terang dan gelap dalam diri.
Bahwa mungkin kegelapan zaman ini bukan karena kurangnya cahaya, tapi karena terlalu banyak sumber cahaya palsu yang membuat mata batin kita silau.

Imam al-Ghazali seolah menulis untuk masa kita: masa yang sibuk mencari Tuhan di mesin pencari, tapi lupa bahwa cahaya-Nya sudah lama tinggal di dada sendiri.***


  • Sumber: Misykatul Anwar, Imam Abu Hamid al-Ghazali; terjemahan & kajian berbagai sumber