Ernest Douwes Dekker, tokoh nasionalis berdarah Belanda, justru menyanjung pesantren sebagai benteng terakhir patriotisme bangsa Indonesia.
KOSONGSATU.ID–Nama Ernest François Eugène Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi sering diingat sebagai tokoh perintis nasionalisme dan pendiri Indische Partij. Tapi, tak banyak yang tahu: tokoh berdarah Belanda ini pernah menulis pujian mendalam terhadap ulama dan pesantren—lembaga yang justru dulu dianggap “tradisional” oleh kalangan penjajah.
Dalam bukunya, 70 Jaar Konsekwent (1950), Setiabudi menegaskan: “Jika tidak karena sikap dan perjuangan para ulama dan pesantren, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan.”
Kalimat itu menjadi penegasan bahwa santri dan kiai adalah penjaga api kebangsaan jauh sebelum kata “nasionalisme” menjadi jargon politik.
Dari Keturunan Penjajah Jadi Pembela Rakyat
Douwes Dekker lahir dari keluarga Belanda yang dikirim ke Hindia untuk melayani kepentingan kolonial. Tapi, pengalaman hidupnya di tanah Jawa justru membalik arah takdirnya.
Ia bergaul dengan tokoh-tokoh bumiputra, sering berinteraksi dengan kiai dan kaum santri, dan di sanalah ia melihat bagaimana pesantren menjadi pusat perlawanan moral dan spiritual terhadap penjajahan.
Hubungan itulah yang mengubah pandangannya. Ia menyadari bahwa bangsa yang tampak miskin dan terbelakang dalam kacamata Barat justru memiliki kekayaan jiwa—nilai perjuangan, kejujuran, dan kesetiaan yang tak ternilai.
Semangat Pesantren dalam Jiwa Nasionalisme
Ketika banyak elite terdidik meniru gaya Barat, Setiabudi justru melihat pesantren sebagai benteng kebangsaan. Ulama tidak hanya mengajarkan agama, kata dia, tetapi juga menanamkan izzah—harga diri sebagai bangsa.
Ia menulis dengan nada hormat tentang bagaimana pesantren mempertahankan moral bangsa di tengah penindasan penjajahan. Dalam pandangannya, pesantren adalah tempat di mana jiwa merdeka disemai, bukan tempat yang kolot sebagaimana dipersepsikan penjajah Belanda kala itu.
Bagi Setiabudi, nasionalisme sejati tumbuh dari akar budaya dan spiritualitas rakyat, bukan dari doktrin politik modern semata. Maka, pesantren baginya adalah universitas kehidupan yang memupuk kesadaran bangsa sejak dalam jiwa.
Dari Kiai ke Kaum Terpelajar
Jejak pengaruh pesantren bahkan tampak dalam lingkar pergaulan Setiabudi sendiri. Ia bersahabat dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara, dua tokoh yang banyak terinspirasi oleh gerakan moral rakyat. Dari sanalah lahir Indische Partij—partai politik pertama yang mengusung semangat kemerdekaan Indonesia.
Pandangan spiritual itu juga yang membuatnya dihormati Soekarno. Bung Karno menyebutnya sebagai “mahaguru”, bersama Kiai Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara.
Dalam berbagai kesempatan, Soekarno mengenang bahwa ajaran Setiabudi bukan sekadar politik, tapi jiwa kebangsaan yang bersumber dari nilai pesantren: setia, jujur, dan teguh.
Warisan yang Terlupakan
Danudirja Setiabudi wafat pada 28 Agustus 1950, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Namun demikian, pemikirannya tetap hidup—tentang pentingnya menghargai akar budaya, agama, dan lembaga pendidikan rakyat.
Pesan yang ia titipkan 75 tahun lalu kini terasa relevan kembali: bahwa bangsa ini hanya akan kuat bila pesantren tetap menjadi penjaga nurani nasionalisme, dan para santri terus menyalakan semangat cinta tanah air tanpa pamrih.***




Tinggalkan Balasan