Sastrawan sekaligus sejarawan Sunda, Enang Rokajat Asura, menyebut Perang Bubat sebagai kisah tak logis dan sarat distorsi. Ia mendesak agar sejarah tak hanya bersandar pada mitos, tapi pada akal sehat.


KOSONGSATU.ID—Kisah Perang Bubat kembali digugat. Kali ini, Enang Rokajat Asura, sastrawan dan sejarawan Sunda, terang-terangan menyatakan tak percaya peristiwa berdarah itu pernah benar-benar terjadi.

“Saya tidak percaya sepenuhnya dengan Perang Bubat,” kata Enang kepada Kosongsatu.id, Kamis, 23 Juli 2025. Yang dimaksudkannya adalah cerita populer tentang rombongan Kerajaan Galuh yang dipimpin Prabu Lingga Buana dan Dyah Pitaloka tewas di tangan pasukan Majapahit di Lapangan Bubat pada tahun 1357 M.

Menurut penulis Dwilogi Prabu Siliwangi dan Wangsit Siliwangi ini, cerita tersebut tidak masuk akal jika ditelaah dengan logika sejarah. Ia menguraikan empat alasan utama mengapa kisah itu patut diragukan.

Pertama, kata Enang, tidak ada alasan politis maupun militer yang kuat untuk menjadikan Galuh dan Majapahit berperang. Di masa itu, kedua kerajaan berada dalam posisi sejajar dan tak sedang berseteru. Maka, menurutnya, tidak masuk akal jika Dyah Pitaloka dikirim ke Majapahit seolah-olah sebagai upeti pernikahan bagi Hayam Wuruk.

“Bukankah lebih masuk akal jika justru Majapahit yang mengirim utusan ke Galuh untuk melamar putri kerajaan?” katanya heran.

Kedua, ia menyoroti faktor hubungan darah antara kerajaan Sunda dan Majapahit. Raden Wijaya, pendiri Majapahit, merupakan keturunan Sunda—anak dari Rakeyan Jayadarma (putra Raja Sunda) dan Dyah Lembu Tal dari Singhasari.

“Kalau ditarik garis darah, Raden Wijaya itu Sunda. Jadi kalau sampai perang karena konflik pribadi Gajah Mada, itu sama saja anak melawan bapak,” tegas Enang.

Ia menambahkan, penguasa-penguasa Majapahit seperti Tribhuwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk kemungkinan besar melihat Sunda sebagai kerabat, bukan musuh. “Hayam Wuruk itu lebih condong kepada ibunda atau ibu surinya, bukan kepada Gajah Mada,” ujar Enang lagi.

Ketiga, Enang mempertanyakan validitas sumber utama kisah Bubat. Kitab Pararaton yang sering dijadikan rujukan, menurutnya, baru ditulis sekitar 1535 M—hampir dua abad setelah peristiwa yang dikisahkan. Saat itu, Nusantara sudah berada di bawah pengaruh Portugis.

“Ini sangat meragukan. Sejarawan harus berani mengkritisi sumber semacam ini agar tidak jadi korban sejarah yang ngawur,” katanya.

Sementara kitab Negarakertagama yang lebih dekat secara waktu, ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M—hanya delapan tahun setelah waktu dugaan Bubat. Namun, tak ada satu pun baris yang menyebut tragedi tersebut. “Kalau kisah ini benar-benar terjadi, tentu Negarakertagama mencatatnya,” ujar Enang, yang juga menulis Raden Pamanah Rasa: Kemaharajaan Nusantara yang Tak Terungkap.

Keempat, Enang mencurigai narasi Perang Bubat sebagai rekayasa sejarah untuk meredam kesalahan besar Gajah Mada. Ia mengutip analisis sejarawan Uu Rukmana di Pikiran Rakyat yang menyinggung soal “penghilangan” sejarah Bubat sebagai bagian dari upaya mencuci tangan atas dosa sang mahapatih.

“Pertanyaannya, sebesar apa dosa Gajah Mada hingga harus dibersihkan dengan cara menghilangkan atau memelintir cerita ini?” tanya Enang.

Ia menegaskan bahwa pendapatnya ini adalah pandangan terbuka. “Ini murni opini saya sebagai pembaca sejarah. Silakan kalau mau diperdebatkan,” tutupnya.***