Ketika Majapahit memasuki abad ke-15, tak ada yang menduga bahwa kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara itu perlahan menuju jurang keruntuhannya. Bukan karena serangan luar, bukan pula karena kekuatan Islam Demak yang kerap dituding dalam narasi-narasi simplistis. Keruntuhan Majapahit adalah tragedi dari dalam: perang saudara, perebutan takhta, dan hilangnya akal sehat istana.
KOSONGSATU.ID—Sejarawan Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo menyebutkan, awal kehancuran Majapahit bermula dari meletusnya Perang Paregreg—sebuah konflik suksesi berdarah antara Prabu Wikramawarddana dan saudara iparnya, Bhre Wirabhumi, yang berlangsung nyaris empat tahun (1401–1405).
Medan tempur utama berada di Blambangan—kini masuk wilayah Banyuwangi, Jawa Timur—daerah kekuasaan Bhre Wirabhumi. Di tengah kekacauan politik dan ketegangan dinasti, perang ini menguras sumber daya, menghancurkan sistem birokrasi, dan mempermalukan Majapahit di mata dunia.
Puncak ironi terjadi saat pasukan Majapahit secara tak sengaja membunuh 170 tentara Tiongkok di bawah komando Laksamana Cheng Ho, yang kala itu sedang berada di wilayah konflik. Padahal, mereka tidak terlibat sama sekali dalam peperangan.
Kesalahan fatal ini memaksa Majapahit membayar ganti rugi kepada Kaisar China sebesar 60.000 tail emas. Namun, menurut berbagai sumber, Majapahit tercatat hanya mampu membayar 10.000 tail emas. Kekalahan diplomatik itu mengguncang fondasi finansial kerajaan.
Setelah Prabu Wikramawarddana wafat, gejolak tak mereda. Sang istri, Rani Suhita, naik takhta dan mencoba menertibkan kerajaan. Namun, pemberontakan terus meletup: dari Pasunggiri, Bali, hingga Bhre Daha—anak Bhre Wirabhumi—bahkan sempat merebut istana Majapahit.
Arya Damar berhasil menggagalkan upaya kudeta tersebut, tapi stabilitas istana tak pernah kembali pulih.
Alih-alih memperkuat elite birokrasi, Rani Suhita malah menyingkirkan tokoh-tokoh cerdas dan loyal. Mahapatih Kanaka digantikan. Bhre Narapati—yang sebelumnya berjasa memadamkan pemberontakan Bhre Wirabhumi—dihukum mati. Arya Damar disingkirkan ke Palembang.
Majapahit kehilangan penggawa-penggawa terbaiknya.
Tahun 1447, kekuasaan beralih ke Dyah Kertawijaya, adik Rani Suhita. Ia naik takhta dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Parakramawarddhana. Dalam Babad Tanah Jawi, ia disebut sebagai Raden Alit dan menjadi raja bergelar Brawijaya V—urutan kelima raja laki-laki setelah Kertarajasa, Jayanegara, Rajasanegara, dan Wikramawarddana.
Masuknya Pengaruh Islam
Di masa Kertawijaya, Islam mulai mendapat tempat dalam lingkar elite Majapahit. Selain memiliki penasihat dan pengikut Muslim, dua istrinya juga beragama Islam. Salah satu putranya, Raden Patah, kemudian menjadi Adipati Demak. Majapahit—yang dikenal sebagai kerajaan Hindu-Buddha—perlahan mulai membuka diri terhadap pengaruh Islam.
Namun, setelah Kertawijaya wafat, api konflik kembali menyala. Tahta diberikan kepada Bhre Pamotan, sang menantu, bukan anak kandung. Ketidakpuasan meledak.
Para anak ‘sah’ Kertawijaya menolak dan melakukan perlawanan. Bhre Pamotan pun jatuh dalam tekanan. Pada tahun kedua pemerintahannya (1453), ia kehilangan akal dan mengakhiri hidupnya dengan terjun ke laut.
Selama tiga tahun, Majapahit mengalami kekosongan kekuasaan. Baru pada 1456, Bhre Wengker—putra Kertawijaya—naik takhta. Ia berkuasa sepuluh tahun.
Sepeninggalnya, putranya Dyah Suraprabhawa, atau Bhre Pandansalas, naik tahta tahun 1466 M dengan gelar Sri Prabu Singhawikramawarddhana.
Namun, kedamaian tak bertahan lama. Tahun 1468, Bhre Kertabumi, putra Bhre Pamotan, melancarkan pemberontakan. Ia berhasil mengusir Bhre Pandansalas dan mengambil alih kekuasaan di Trowulan, sementara Pandansalas mengungsi ke Daha (Kediri).
Kertabumi kemudian mendeklarasikan diri sebagai Raja Majapahit.
Perpecahan kian parah. Keturunan Sri Prabu Kertawijaya menolak mengakui Kertabumi dan mengangkat Dyah Ranawijaya—putra Bhre Pandansalas—sebagai raja tandingan. Majapahit pun terbagi dua.
Pada 1478 M (Saka 1400), pertikaian mencapai klimaks: Girindrawardhana Dyah Ranawijaya menggempur Trowulan dan membunuh Bhre Kertabumi. Peristiwa inilsh yang dikenang dalam Pararaton dan Serat Kandha sebagai momen “sirna ilang kertaning bumi”—hilangnya kemuliaan bumi.
Girindrawardhana mencoba menyatukan kerajaan kembali. Namun, upayanya gagal. Banyak daerah sudah mandiri, tak lagi bergantung pada istana pusat.
Seiring perpindahan ibu kota ke Daha, Majapahit menjadi kerajaan agraris yang terkunci di daratan. Dalam analisis Agus Sunyoto, ini menjadikan Majapahit tak relevan lagi sebagai kekuatan maritim.
Narasi lain datang dari Slamet Muljana. Dalam risetnya, disebutkan bahwa Kertabumi (1474–1478) bukan langsung dibunuh, melainkan ditawan dengan hormat oleh Demak.
Kota Majapahit tetap berdiri dan sempat diperintah oleh orang Tionghoa bernama Noo Lay Wa hingga 1486. Setelah itu, Majapahit dikendalikan Girindrawardhana, yang juga menantu Kertabumi, dengan kekuasaan meliputi Majapahit, Dhaha, dan Jenggala.
Namun, Girindrawardhana melakukan langkah keliru: ia menjalin aliansi dengan Portugis dan Tiongkok. Hal ini memicu penolakan keras dari Demak. Pada tahun 1527, pasukan Demak menyerbu dan menghancurkan sisa kekuatan Majapahit.
Di titik itulah, sejarah mencatat kematian Majapahit. Tapi bukan karena serangan Demak semata, melainkan karena Majapahit telah lebih dulu rapuh dari dalam: oleh perang saudara, pengkhianatan, pemberontakan, dan ketidakmampuan menerima perubahan zaman.—bersambung




2 Komentar