Meski Bretton Woods telah lama tumbang, warisannya masih mencengkeram peradaban global. Dolar Amerika Serikat (AS) tetap jadi mata uang pilihan utama dunia—didukung sejarah, kepercayaan, dan kekuasaan ekonomi Washington.
KOSONGSATU.ID—Sejarah dominasi dolar tak bisa dilepaskan dari peristiwa yang terjadi lebih dari delapan dekade silam. Di tengah bara Perang Dunia II yang belum padam, perwakilan 44 negara berkumpul di Mount Washington Hotel, kota kecil Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat.
Juli 1944 menjadi saksi lahirnya satu rezim moneter dunia yang menetapkan dolar AS sebagai jangkar nilai tukar global, menggantikan emas.
Lewat sistem Bretton Woods, negara-negara peserta menyepakati bahwa nilai tukar mata uang mereka dikaitkan ke dolar, dan dolar sendiri ditopang oleh cadangan emas—dengan nilai USD35 per ons.
Dua lembaga besar pun lahir dari kesepakatan itu: IMF, yang bertugas menyelamatkan negara dari krisis keuangan, dan Bank Dunia, yang membiayai pembangunan negara berkembang.
Namun, sistem yang rapi di atas kertas itu mulai keropos dua dekade kemudian.
Untuk membiayai Perang Vietnam dan program sosial ambisius di dalam negeri, pemerintah AS mencetak dolar lebih banyak dari cadangan emas yang tersedia. Negara-negara seperti Prancis mulai curiga dan menuntut penukaran dolar ke emas.
Hingga pada 15 Agustus 1971, Presiden Richard Nixon mengambil langkah sepihak: menutup jendela konversi dolar ke emas. Dunia pun masuk ke era baru: sistem nilai tukar mengambang.
Ketika Dolar Jadi Nafas Ekonomi Global
Runtuhnya sistem Bretton Woods bukan akhir dari dominasi dolar—justru sebaliknya. Dolar menjelma menjadi mata uang tunggal yang mengatur denyut nadi ekonomi internasional.
Hingga hari ini, cadangan devisa mayoritas negara disimpan dalam bentuk dolar. Alasannya bukan semata-mata warisan sejarah, tapi juga kepercayaan.
Stabilitas ekonomi dan politik Amerika, ditopang kedalaman pasar keuangannya, membuat dolar tetap jadi pilihan utama dalam transaksi internasional.
Dari minyak mentah, emas, hingga gandum, semua dihargai dalam dolar. Negara-negara OPEC, misalnya, sejak lama menjual minyak dalam mata uang ini. Maka, untuk bisa membeli minyak, negara mana pun harus punya cadangan dolar—mau tak mau.
Likuiditas pasar dolar pun luar biasa. Uang bisa berpindah dalam jumlah besar tanpa mengguncang harga. Ini memberi rasa aman bagi investor dan lembaga keuangan global. Belum lagi kontrak-kontrak utang luar negeri yang sebagian besar juga ditulis dalam dolar.
Kecemasan Akan Cengkeraman Dolar
Namun, tidak semua pihak nyaman dengan dominasi tunggal dolar. Negara-negara seperti China, Rusia, dan kelompok BRICS mulai mencari cara untuk keluar dari bayang-bayang dominasi AS. Mereka menyebutnya dedolarisasi.
China mendorong yuan untuk dipakai dalam transaksi internasional. Rusia, sejak dijatuhi sanksi barat, makin aktif menggunakan rubel dan yuan dalam perdagangan minyak dan gas.
Arab Saudi bahkan mulai mempertimbangkan menjual minyak dalam mata uang selain dolar—sesuatu yang dulu tabu.
Motifnya jelas: dolar bukan hanya alat tukar, tapi juga senjata geopolitik. AS dapat menjatuhkan sanksi ekonomi yang mematikan hanya dengan memutus akses ke sistem keuangan berbasis dolar. Iran, Venezuela, dan Rusia sudah merasakannya.




Tinggalkan Balasan