Di era digital kini, realitas dan ilusi makin sulit dibedakan. Jean Baudrillard, lewat konsep simulacrum, sudah pernah mengingatkan: bisa jadi yang kita lihat setiap hari bukan dunia nyata, tapi bayangannya.
KOSONGSATU.ID—Jean Baudrillard, filsuf dan sosiolog asal Prancis, pernah menulis sesuatu yang terdengar seperti ramalan masa depan. Dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981), ia menyebut manusia modern hidup di antara tiruan-tiruan yang tampak nyata, tetapi sebenarnya tak memiliki referensi pada kenyataan apa pun.
Dunia, kata dia, kini dipenuhi oleh simulacrum—gambaran atau citra yang berdiri sendiri, terlepas dari realitas yang seharusnya diwakilinya.
Awalnya, manusia menciptakan representasi untuk meniru kenyataan. Lukisan dibuat untuk menggambarkan alam. Foto diciptakan agar momen bisa diingat. Namun seiring waktu, tiruan itu mulai menggeser posisi aslinya.
Realitas lama-lama hilang di balik lapisan-lapisan citra. Kita tak lagi bisa membedakan mana yang sungguh-sungguh nyata dan mana yang hanya rekaan. Di titik itulah Baudrillard menyebut dunia telah memasuki fase simulacrum murni—sebuah kondisi di mana yang ada hanyalah pantulan dari pantulan.
Dunia yang Terbuat dari Citra
Kalau kita pikir-pikir, bukankah yang dibahas Baudrillard itu yang sedang terjadi hari ini?
Media sosial menjadi contoh paling dekat. Di sana, manusia membangun versi terbaik dari dirinya. Menampilkan wajah paling bahagia, tubuh paling ideal, pencapaian paling membanggakan.
Dunia maya menjelma menjadi galeri kebahagiaan kolektif, tempat setiap orang tampak sukses dan bahagia. Padahal, di balik layar ponsel, kehidupan nyata sering kali tak seindah itu. Kita bukan lagi melihat kehidupan orang, melainkan hasil kurasi yang diatur dengan cermat agar tampak sempurna.
Teknologi mempertebal ilusi itu. Dengan kecerdasan buatan, suara bisa dipalsukan, wajah bisa disalin, dan peristiwa yang tak pernah terjadi bisa dibuat seolah benar-benar terjadi.
Deepfake adalah contoh ekstrem dari dunia tanpa dasar kenyataan. Bukti visual dan suara yang dulu menjadi penentu kebenaran, kini tak bisa lagi dipercaya sepenuhnya. Realitas menjadi sesuatu yang bisa diedit.
Hal yang sama terjadi di dunia metaverse dan realitas virtual. Di sana, manusia bisa menciptakan versi diri yang sama sekali baru: lebih cantik, lebih kuat, lebih percaya diri. Identitas digital itu kadang terasa lebih “nyata” ketimbang kehidupan fisik. Orang bekerja, bersosialisasi, bahkan mencintai di ruang yang sepenuhnya buatan. Dalam pandangan Baudrillard, inilah wujud paling jelas dari hiperrealitas—dunia di mana yang palsu justru terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Ketika Kebenaran Jadi Cair
Fenomena ini juga menjalar ke dunia konsumsi. Kita membeli bukan karena butuh, tapi karena simbol. Sepatu dengan logo tertentu dianggap lebih berharga meski kualitasnya sama. Telepon genggam menjadi lambang status sosial, bukan sekadar alat komunikasi.
Nilai barang tak lagi melekat pada fungsi, melainkan pada citra yang menempel padanya. Semuanya tentang makna yang diciptakan, bukan realitas yang dirasakan.
Baudrillard menyebut, dalam dunia seperti ini, manusia kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kenyataan dan simulasi. Media, iklan, budaya pop, hingga politik, semuanya berlomba menciptakan citra yang bisa dipercaya.
Akibatnya, kebenaran menjadi cair. Kita percaya pada apa yang paling sering muncul di layar, bukan pada apa yang benar-benar terjadi.
Memahami teori simulacrum membuat kita sedikit lebih sadar bahwa dunia digital tidak sesederhana yang tampak. Setiap gambar, video, dan narasi bisa menjadi cermin palsu yang memantulkan bayangan realitas.
Di tengah derasnya informasi dan algoritma yang membentuk cara kita berpikir, kemampuan untuk berhenti sejenak dan bertanya “ini nyata atau hanya tampilannya?” menjadi keterampilan penting.
Mungkin benar kata Baudrillard: kita tidak lagi hidup di dunia yang merepresentasikan realitas, melainkan di dunia yang menciptakan realitasnya sendiri. Dan di antara citra-citra yang terus berputar itu, kita harus belajar menemukan kembali yang sungguh nyata—sekalipun hanya dalam diri kita sendiri.***




Tinggalkan Balasan