Pidato Soekarno di Sidang Umum PBB pada 30 September 1960 bukan sekadar sejarah diplomatik. “To Build The World Anew” adalah pesan abadi tentang kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian dunia yang belum terwujud.

KOSONGSATU.ID—New York, 30 September 1960. Gedung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memantulkan gema suara yang datang dari Timur. Di tengah dinginnya perang ideologi Barat dan Timur, Soekarno berdiri tegak di podium kaca, mengenakan jas putih dan peci hitam. Dengan gaya khasnya yang retoris dan berapi-api, ia membuka pidato berjudul To Build The World Anew—membangun dunia kembali.

Di hadapan para pemimpin dunia, Soekarno tak sekadar berbicara atas nama Indonesia, melainkan atas nama umat manusia. “Kita ingin dunia di mana perdamaian bukan sekadar jeda dari perang, melainkan keadaan yang adil bagi semua,” ujarnya kala itu, mengguncang suasana sidang yang hening.

Melampaui Zaman dan Ideologi

Pidato Soekarno di PBB bukan hanya catatan sejarah, melainkan seruan moral agar umat manusia menata ulang nurani dunia yang rusak oleh kolonialisme, keserakahan, dan perang.

Pidato yang kini diakui UNESCO sebagai bagian dari Memory of the World itu menyinggung isu-isu yang tetap hidup hari ini: diskriminasi rasial, perlombaan senjata nuklir, imperialisme ekonomi, hingga ketimpangan antara negara maju dan berkembang.

“Soekarno ingin dunia dibangun kembali, bukan menciptakan dunia baru yang melupakan nilai kemanusiaan,” kata peneliti sejarah Wildan Sena Utama, dalam sebuah kesempatan (30/9). Ia menyebut imajinasi Soekarno tentang dunia baru sebagai “janji yang belum terpenuhi.” “Ketimpangan global belum berakhir, dan dunia adil seperti yang dibayangkan Bung Karno masih jadi cita-cita,” ujarnya.

Indonesia yang Pernah Didengar Dunia

Pidato itu juga menandai masa ketika Indonesia berdiri sejajar di panggung global. Soekarno memperkenalkan Pancasila sebagai jalan tengah antara dua ideologi besar dunia: kapitalisme dan komunisme. “Kita pernah didengar dunia,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam, di suatu kesempatan. “Bung Karno memperkenalkan Pancasila di forum tertinggi dunia dan mendapat tepuk tangan panjang.”

Menurut Asvi, pidato itu memberi kebanggaan diplomatik dan spiritual. “Soekarno tidak minder. Ia berani menawarkan Pancasila sebagai ideologi dunia, karena berangkat dari nurani manusia,” katanya. Ia menyebut Pancasila sebagai Ubiquitous Factor—kebenaran universal yang melampaui batas bangsa dan ideologi.

Pesan Spiritual dalam Politik Dunia

Soekarno juga menautkan spiritualitas ke dalam diplomasi. Dalam pidato itu, ia mengutip Surah Al-Hujurat ayat 13: manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal, bukan saling menindas.

“Bung Karno adalah presiden pertama di dunia yang mengutip Al-Qur’an di forum PBB,” kata doktor kajian Islam dari Harvard University, Sukidi Mulyadi, pada suatu acara di 30 Maret 2024. “Itu bukan sekadar simbol keislaman, tapi pernyataan moral bahwa politik harus berakar pada kemanusiaan.”

Menurut Sukidi, kutipan itu juga sindiran halus kepada filsuf Inggris Bertrand Russell yang menilai sejarah manusia hanya digerakkan dua ideologi besar: kapitalisme dan komunisme. “Soekarno memperkenalkan Pancasila yang lebih luhur daripada ideologi dunia manapun,” ujarnya.