Ilmu modern memang bikin teknologi melesat jauh, tapi kehilangan jiwa. Ilmu modern telah mereduksi realitas, merusak alam, dan menciptakan pengetahuan tanpa arah moral.


KOSONGSATU.ID—Sejak abad pencerahan, sains modern menjadi ikon kemajuan Barat. Listrik, internet, sampai roket luar angkasa, semua lahir dari semangat ilmu pengetahuan empiris—atau yang bisa ditangkap oleh pancaindra. Ilmu seperti inilah yang diklaim sebagian besar manusia sebagai ‘ilmu modern’.

Namun, menurut Seyyed Hossein Nasr—seorang filsuf asal Iran—manusia modern harus membayar harga yang mahal untuk pesatnya sains. Pasalnya, ilmu modern ini tercerabut dari akar sakralitasnya.

Dalam tradisi Islam, alam itu “ayat”—tanda Tuhan. Namun, menurut Nasr, sains modern mengabaikan sisi itu. Abai pada sisi rohani. Hanya percaya yang bisa diukur di laboratorium.

“Ilmu pengetahuan modern telah mendesakralisasi pengetahuan, mereduksi realitas hanya pada yang bersifat material,” tegas Nasr.

Krisis Ekologi

Nasr sudah mewanti-wanti sejak 1968 melalui bukunya, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. Menurutnya dalam buku itu, krisis ekologi global bukan kebetulan. Ia lahir dari sudut pandang sains, yang melihat alam hanya sebagai mesin, lalu mengeksploitasinya.

“Alam tidak lagi dipandang sebagai realitas yang sakral, melainkan sebagai mesin yang harus dikuasai,” tulisnya. Maka itu, tak heran bila hutan pun habis, laut rusak, udara kotor. Teknologi malah jadi senjata perusak, bukan pelindung bumi.

Ilmu Tanpa Hikmah Sama Dengan Bencana

Bagi Nasr, ada beda antara knowledge (ilmu) dan wisdom (hikmah). Ilmu modern bisa bikin kecerdasan buatan (artificial inteligence/AI), rekayasa genetika, bahkan menjelajah ke Mars. Tapi, tanpa kebijaksanaan, semua itu bisa menjadi pisau bermata dua. Misalnya, melahirkan bom atom, senjata biologis, atau menimbulkan krisis iklim. “Pengetahuan tanpa kebijaksanaan akan berubah menjadi sesuatu yang merusak,” katanya.

Ilmu yang kehilangan sakralitas hanya akan berujung kerusakan. – Ilustrasi KOSONGSATU.ID

Jalan Keluarnya adalah Ilmu Sakral

Nasr tidak menolak sains modern. Tapi, ia mengajak manusia kembali ke “ilmu sakral”  atau sacred science. Artinya, menempatkan pengetahuan dalam kerangka kosmos yang berpusat pada Tuhan.

Dia mengingatkan bahwa manusia bukan predator, tapi khalifah di bumi. Alam bukan sekadar sumber daya, tapi ciptaan yang punya makna spiritual.

“Pengetahuan sejati harus berakar pada yang sakral, sebab hanya dengan itu ia dapat menuntun pada kebijaksanaan,” ungkap Nasr.

Relevan Buat ‘Zaman Now’

Di era krisis iklim, AI yang makin liar, dan eksploitasi teknologi demi profit, kritik Nasr terasa makin relevan. Mengingatkan kita bahwa ilmu tanpa jiwa hanyalah mesin tanpa arah.

Kalau sains kembali terhubung dengan akar sakralnya, kemajuan bisa jadi jalan menuju keberlangsungan, bukan kehancuran.***


Bacaan kunci karya Nasr:

  • Man and Nature (1968) – kritik awal soal krisis ekologi.
  • Knowledge and the Sacred (1981) – makna sejati pengetahuan.
  • The Need for a Sacred Science (1993) – manifesto ilmu sakral.
  • Religion and the Order of Nature (1996) – relasi agama, manusia, dan alam.