Sengketa lahan 534 hektare di Surabaya yang melibatkan ribuan warga dan Pertamina kembali memanas setelah blokir sertifikat tanah tanpa dasar pengadilan memicu perlawanan hingga ke DPR RI.
KOSONGSATU.ID—Ribuan warga di lima kelurahan Surabaya—Dukuh Pakis, Dukuh Kupang, Pakis, Gunungsari, dan Sawunggaling—selama lebih dari satu dekade berhadapan dengan raksasa BUMN, Pertamina.
Sengketa ini melibatkan lahan seluas 534 hektare yang mereka tempati puluhan tahun secara legal dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Hak Guna Bangunan (HGB) .
Pertamina mengklaim lahan itu sebagai aset peninggalan kolonial milik perusahaan minyak Belanda (NV Bataafsche Petroleum Maatschappij/Shell) berdasarkan dokumen eigendom verponding No.1278 dan 1305.
Padahal, menurut UU Pokok Agraria 1960 dan Keppres No. 32/1979, seluruh hak kolonial semestinya telah dikonversi menjadi hak baru (SHM/HGB) paling lambat tahun 1980—jika tidak, gugur dengan sendirinya.
2010–2015: Klaim Pertamina mulai muncul
Tahun 2010 menjadi awal mula kisruh. Pertamina secara sepihak mengajukan klaim atas tanah warga berdasarkan dokumen lama eigendom verponding. Wilayah yang diklaim mencakup 220,4 hektare di kawasan Darmo Hill yang kini sudah penuh permukiman, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik .
Warga yang telah menempati tanah tersebut selama puluhan tahun terkejut. Mereka bahkan ada yang merupakan veteran pejuang kemerdekaan, dan mempertanyakan dasar moral sekaligus hukum dari klaim Pertamina.
Meski sempat tenang beberapa tahun, sejak 2015 upaya administratif Pertamina makin intens. Surat-menyurat dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mulai dilakukan untuk menegaskan klaim aset tersebut, meski belum ada tindakan nyata di lapangan.

2023: Blokir sertifikat tanpa gugatan
Enam belas Juni 2023, Pertamina secara resmi melayangkan surat ke BPN Surabaya, meminta agar seluruh proses pendaftaran tanah di kawasan eks-eigendom No.1278 ditangguhkan. Pada 6 November 2023, BPN Kota Surabaya menindaklanjuti permintaan itu dengan memblokir ribuan sertifikat tanah warga .
Blokir tersebut dilakukan tanpa proses pengadilan, dan melampaui masa 30 hari yang diatur prosedur. Akibatnya, warga tak bisa memperpanjang HGB, menjual, memecah, atau mengurus tanah mereka.
“Kami ini punya sertifikat sah dari negara, tapi diblokir oleh negara sendiri,” keluh salah satu warga Darmo Hill.
2024–2025: Warga melawan, pemerintah daerah turun tangan
Setahun kemudian, warga baru mengetahui tanah mereka diblokir ketika hendak menjual atau mengurus administrasi. Sejak itu keresahan meluas ke berbagai kelurahan. Pemerintah Kota Surabaya akhirnya turun tangan.
Pada 18 September 2025, Wakil Wali Kota Armuji alias Cak Ji memimpin mediasi antara warga, BPN, dan perwakilan Pertamina di Balai RW Darmo Hill.
Armuji mengecam keras langkah sepihak Pertamina. “Kalau semua ini ditarik jadi milik Pertamina, di mana keadilan untuk masyarakat?” ujarnya.
Ia meminta BPN segera membuka blokir sertifikat agar warga dapat mengurus tanah mereka kembali .
DPRD Surabaya juga bergerak cepat. Komisi C memanggil BPN Jawa Timur dan melibatkan tujuh pakar hukum Universitas Airlangga untuk meneliti keabsahan klaim Pertamina yang dianggap tidak lagi sah secara hukum.




Tinggalkan Balasan