Pasukan Diponegoro yang tercerai-berai membawa serta tradisi membatik ke wilayah baru. Di Majan lahirlah Batik Majan, di Ploso tumbuh batik lewat Nyai Nasikhah, dan di Ponorogo batik berkembang lewat ikatan keluarga bangsawan dengan ulama.

KOSONGSATU.ID—Perang Jawa, atau Perang Diponegoro (1825–1830), tidak hanya mengguncang politik dan militer kolonial Belanda. Momentum tersebut juga meninggalkan jejak budaya yang masih hidup hingga kini: batik.

Dari Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Jawa Barat, laskar Diponegoro yang tercerai-berai setelah Sang Pangeran ditawan ikut menanamkan tradisi membatik di tanah-tanah baru yang mereka tinggali.

Warisan Laskar

Ketika pasukan Kiai Maja mengundurkan diri ke arah timur, mereka menetap di Majan dan Simo, Mojokerto—kini masuk wilayah Jawa Timur. Di tempat inilah lahir Batik Majan, salah satu jejak budaya dari eksodus pasukan Diponegoro.

Dari Majan, jejak itu berlanjut ke Ploso, Jombang, melalui Nyai Nasikhah, menantu KH. Ahmad Syuhada—yang dikenal sebagai telik sandi Diponegoro sekaligus pendiri Pesantren Kedungturi.

Di Ponorogo, seni batik berkembang lewat Bra Murtosyah, putri Pakubuwono III, yang menikah dengan Kiai Hasan Besari. Dari pernikahan politik sekaligus budaya itu, batik menyebar ke Tegalsari dan Ponorogo, wilayah yang memang dekat dengan jantung budaya Solo.

Sandi Perang

Batik juga pernah menjadi alat komunikasi perang. Di Maos, Cilacap—markas pertahanan terkuat Diponegoro—motif batik digunakan sebagai sandi rahasia. Pola-pola tertentu menyimpan pesan: kapan menyerang, di mana berkumpul, atau bagaimana menyalurkan logistik. Dengan cara ini, laskar pribumi berhasil mengecoh Belanda.

Tradisi itu terus hidup. Batik Maos kini memiliki sekitar 1.883 motif yang lahir dari konteks perang, menjadikannya salah satu warisan unik dari strategi militer menjadi seni budaya.

Banyumas, Pekalongan, hingga Tatar Sunda

Di Banyumas, Najendra—pengikut Diponegoro—menetap di Sokaraja dan menurunkan tradisi membatik dengan pewarna alam, seperti pohon tim dan mengkudu. Dari sinilah lahir motif jonasan, khas warna soga cokelat-hitam.

Di Pekalongan, kelompok laskar lain mengembangkan usaha batik di Buawaran, Pekajangan, dan Wonopringgo. Sementara itu, gelombang pengungsi ke Jawa Barat melahirkan batik Tatar Sunda. Batik Ciamis, Indramayu, Tasikmalaya, hingga Paseban Kuningan berkembang dengan ciri khas warna latar kuning gading, dukuh, dan gumading—pengaruh dari Banyumas.

Di Bandung, jejak itu bertransformasi lebih jauh. Para pelarian senopati menyamar sebagai pedagang batik dan membuka usaha di Pasar Baru. Mereka disebut mandoran, saudagar batik yang kemudian mendominasi perdagangan kain di wilayah Bandung dan sekitarnya.

Dari Sandi Perang ke Warisan Budaya

Jejak laskar Diponegoro dalam batik menunjukkan bahwa kain bukan sekadar estetika, melainkan juga catatan sejarah. Dari sandi perang di Cilacap, motif jonasan di Banyumas, hingga ragam batik di Jawa Barat, semuanya menegaskan satu hal: batik adalah saksi bisu perjuangan dan pelarian.

Warisan itu kini hidup sebagai karya seni, dipamerkan di galeri, dipakai dalam upacara adat, bahkan menembus panggung dunia. Namun di balik keindahan motifnya, ada kisah getir perlawanan, pengasingan, dan identitas yang dibawa para laskar Diponegoro ke tanah-tanah baru.***