Datang ke Kongres Pemuda II untuk meliput, Wage Rudolf Supratman justru menulis sejarah—dengan biola dan pena.
KOSONGSATU.ID—Sedikit yang tahu, Wage Supratman datang ke Kongres Pemuda II bukan sebagai musisi, melainkan wartawan. Ia membawa biola, tapi juga pena. Tuganya jelas: meliput jalannya kongres untuk harian Sin Po, tempat ia bekerja.
Menurut buku Wage Rudolf Supratman, Sang Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya terbitan Museum Sumpah Pemuda, tulisan-tulisan liputannya di Sin Po jadi rujukan penting dalam penulisan sejarah Sumpah Pemuda.
Sri Sudarmiyatun dalam Makna Sumpah Pemuda (2012) menulis, Wage hadir di Kongres dengan penuh perhatian. Ia mencatat setiap pidato, mendengar perdebatan soal usulan M. Yamin tentang bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu.
“Sebagai wartawan, Wage berharap-harap pulang membawa berita besar,” tulis Bambang Sularto dalam biografi yang sama.
Namun harapannya belum terwujud. Kongres ditutup tanpa keputusan final soal bahasa. Tapi di situlah titik balik hidupnya. Ia terpesona melihat kerja tanpa pamrih para pemuda pergerakan. Sejak itu, semangat mereka menular. Wage tak lagi ingin jadi redaktur yang duduk di kantor, melainkan terus turun ke lapangan berburu berita.

Bertemu Sugondo Djojopuspito
Pertemuan dengan Sugondo Djojopuspito mengubah segalanya. Sugondo, kawan lama Bung Karno di rumah HOS Cokroaminoto, awalnya sulit ditemui. Tapi keberuntungan berpihak pada Wage. Suatu hari, di Taman Forsberg, Gambir, ia diajak bergabung dengan Sugondo, Abdullah Sigit, dan Suwiryo. Dari situlah ia mendengar kabar soal lagu kebangsaan yang sedang ia ciptakan sendiri—dan undangan untuk memainkannya di Kramat 106.
Sebagai wartawan, ia tak melewatkan kesempatan itu. Ia menggali lebih jauh tentang rencana gerakan pemuda. Sugondo menjelaskan bahwa perjuangan mereka melanjutkan semangat Kongres Pemuda I: membangun persatuan Indonesia.
Agustus 1926, Wage menulis berita penting di Sin Po edisi 15 Agustus tentang rapat pemuda di Kramat. Beritanya lengkap, detail, dan berani. Tapi ia belum berhenti di situ. Ia terus mengikuti pergerakan Sugondo hingga akhirnya mendapat kabar besar: berdirinya Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).
“Mas Pratman ini ada berita penting. Boleh disiarkan sekarang,” ujar Sugondo kepadanya. Kabar itu pun dimuat besar-besaran di Sin Po, hasil editan pemimpin redaksi Kwee Kek Beng.
Biola dan Pena di Hari Bersejarah
Dari situ, jalan sejarah mengalir cepat. Sugondo yang kemudian menjadi Ketua Kongres Pemuda II mengundang Wage lagi, kali ini bukan sekadar untuk meliput—tapi juga untuk memainkan lagu ciptaannya sendiri.
Maka pada 28 Oktober 1928, di rumah Kramat 106, biola Wage Rudolf Supratman mengalunkan nada-nada pertama Indonesia Raya. Suara itu tak hanya menutup liputan jurnalistiknya, tapi membuka babak baru perjalanan bangsa.
Dengan biola di tangan dan pena di saku, ia bukan cuma saksi sejarah. Ia pencipta sejarah itu sendiri.***
|
|




Tinggalkan Balasan