Persatuan bukanlah hadiah, tapi kesadaran yang lahir dari luka dan harapan bersama.
Oleh: Redaksi KosongSatuID
JAUH sebelum ada istilah nasionalisme, rakyat di kepulauan Nusantara udah hidup dalam jalinan kerja sama yang luar biasa. Laut bukan pemisah, tapi penghubung. Dari Sumatra sampai Maluku, orang-orang berdagang, bertukar cerita, bahkan berbagi keyakinan yang tumbuh alami di bawah langit maritim Asia Tenggara.
Tapi semua itu berubah saat kolonialisme datang.
Monopoli menggantikan kebebasan. Jalur dagang yang dulu terbuka, ditutup. Rasa saling percaya digantikan curiga. Pulau-pulau yang dulu bersaudara perlahan diisolasi satu sama lain. Nusantara yang hidup dalam harmoni berabad-abad lamanya, luluh lantak oleh rakusnya imperium.
Lalu dunia berguncang.
Perang Dunia I selesai, tapi yang datang justru ideologi-ideologi baru: fasisme di Italia, komunisme di Rusia dan Tiongkok, liberalisme yang dipertahankan Barat. Dunia terbelah, bingung menentukan arah.
Di tengah kekacauan itu—Indonesia justru menemukan dirinya.
Tahun 1928 jadi titik balik.
Kongres Pemuda II bukan cuma pertemuan anak muda, tapi deklarasi peradaban. Tiga kalimat sederhana—bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu—menjadi ikrar paling dahsyat yang pernah diucapkan di negeri ini.
Sejak itu, orang-orang dari berbagai daerah tak lagi melihat perbedaan suku atau agama. Mereka melihat diri sebagai satu: Indonesia.
Gerakan yang dulu tercerai-berai mulai bersatu.
Lahir organisasi-organisasi yang menjadi tulang punggung perjuangan: PNI, Muhammadiyah, NU, Sarekat Islam, Kongres Perempuan Indonesia, hingga BPUPKI dan PPKI. Dari ruang kelas, mimbar dakwah, hingga rapat bawah tanah—semangatnya satu: merdeka.
Dan benar, dari situlah lahir Proklamasi 17 Agustus 1945.
Bukan karena diberi, tapi karena direbut. Bukan karena belas kasihan, tapi karena tekad yang tak bisa dibeli. Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini bukanlah titik akhir. Ia adalah warisan.
Dan warisan itu cuma akan hidup kalau kita terus mengisinya—dengan karya, dengan keberanian, dengan tanggung jawab yang nyata.
Karena bangsa ini berdiri bukan di atas semboyan kosong, tapi di atas kesadaran: bahwa kita satu. Indonesia. Selamanya.***




Tinggalkan Balasan