Sejarah berulang. Enam dekade setelah Soekarno menantang dominasi Olimpiade lewat GANEFO, Indonesia kembali diuji: tunduk pada tekanan global, atau setia pada nurani dan kedaulatannya sendiri.

KOSONGSATU.ID—International Olympic Committee (IOC) baru saja mengeluarkan pernyataan tegas: semua atlet, dari negara mana pun, harus bisa bertanding tanpa diskriminasi. Peringatan itu ditujukan langsung kepada Indonesia, setelah pemerintah menolak visa atlet senam Israel yang hendak berlaga di World Artistic Gymnastics Championships 2025 di Jakarta.

Sebagai konsekuensinya, IOC menghentikan seluruh dialog dengan Komite Olimpiade Indonesia terkait pencalonan tuan rumah Olimpiade, Youth Olympics, maupun agenda olahraga di bawah payungnya. IOC bahkan merekomendasikan federasi internasional lain agar tidak menggelar event di Indonesia, sampai negara ini memberikan jaminan tertulis tentang akses tanpa diskriminasi.

Keputusan itu kontan menimbulkan polemik. Di satu sisi, dunia menilai Indonesia melanggar semangat Piagam Olimpiade. Namun di sisi lain, publik dalam negeri melihatnya sebagai tindakan konsisten terhadap komitmen kemanusiaan dan solidaritas Palestina—nilai yang telah mengakar sejak republik ini berdiri.

Tangkapan layar berita pernyataan IOC. – Klik gambar untuk membaca.

Dampak dan Dilema: Antara Kedaulatan dan Globalisasi Olahraga

Jika rekomendasi IOC benar-benar diterapkan, Indonesia terancam kehilangan sejumlah event olahraga internasional, dengan potensi kerugian ratusan miliar rupiah dari pariwisata olahraga, hak siar, hingga sponsor. Tapi persoalannya bukan sekadar ekonomi. Ini menyentuh martabat dan arah politik olahraga nasional.

Sebagian pengamat menyebut langkah IOC sebagai bentuk “tekanan diplomatik lunak.” Negara yang menolak prinsip netralitas Olimpiade dianggap tidak layak menggelar ajang global. Namun, dari perspektif historis, narasi “netralitas” itulah yang dulu pernah dipersoalkan Soekarno.

GANEFO: Saat Indonesia Menantang Dunia

Pada 1962, Indonesia menolak partisipasi Israel dan Taiwan dalam Asian Games Jakarta. IOC menangguhkan Indonesia, dan Soekarno menjawab dengan gagah: “Kalau mereka punya Olimpiade, kita punya GANEFO — Games of the New Emerging Forces.”

Presiden Soekarno dan para petinggi RI pada seremonial pembukaan GANEFO. – ANRI

GANEFO yang digelar di Jakarta pada November 1963 diikuti lebih dari 50 negara dari Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur. Ia bukan sekadar kompetisi olahraga, tapi manifesto politik Dunia Ketiga, simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan ketimpangan global.

“Olahraga tidak dapat dipisahkan dari politik,” kata Soekarno saat itu. “Olimpiade adalah alat imperialisme. GANEFO adalah panggung bagi bangsa-bangsa yang baru lahir, yang ingin berdiri sejajar.”

Meski GANEFO akhirnya tidak bertahan lama karena tekanan ekonomi dan politik internasional, gagasan itu meninggalkan warisan besar: bahwa olahraga bisa menjadi alat diplomasi dan perlawanan, bukan sekadar perlombaan.