Narasi buruk tentang pesantren bukan hal baru — ini warisan penjajahan yang kini hidup di layar media.
KOSONGSATU.ID–Selama berabad-abad, pesantren jadi ruang lahirnya akhlak, ilmu, dan karakter bangsa. Tapi akhir-akhir ini, lembaga tua yang penuh kearifan itu makin sering diguncang stigma. Satu kasus menyentuh nama pesantren, bahkan dalam perkara yang dibuat-buat — dan seluruh sistem langsung dicap “gelap”, “tertutup”, bahkan “berbahaya”.
Media ramai-ramai menyorotnya. Tapi siapa yang masih mau bertanya: adilkah cara mereka bercerita?
Jejak Lama dari Snouck Hurgronje
Kalau kita mundur sejenak ke awal abad ke-20, nama Snouck Hurgronje muncul di balik strategi penjajahan Belanda yang sangat canggih. Dalam buku De Atjehers (1906), ia menyarankan cara paling efektif “menjinakkan Islam”: biarkan umat beribadah, tapi tekan habis organisasi dan lembaga yang berpotensi politis — termasuk pesantren.
Hurgronje menulis: “Agama yang menginspirasi rakyat harus diawasi dengan hati-hati… para pemimpinnya harus dikendalikan atau dinegasikan.” Dan sejak itu, pesantren mulai diserang bukan lewat peluru, tapi lewat stigma: fanatik, ketinggalan zaman, anti-modern.
Lihat sekarang — pola itu hidup lagi, hanya lewat wajah baru bernama media.
Media, Framing, dan Reinkarnasi Propaganda
Di era digital, senjata penajajahan berganti jadi algoritma dan headline. Satu kasus pelecehan oleh oknum di pesantren langsung dijadikan generalisasi: “Tragedi di Balik Dinding Pesantren”, “Pesantren dan Bayang-bayang Kekerasan.”
Padahal menurut data Kemenag (2023), ada lebih dari 36 ribu pesantren dan 5 juta santri di seluruh Indonesia. Satu-dua kasus jelas tidak bisa menggambarkan semuanya. Tapi framing media membuat publik seolah melihat pesantren sebagai sumber masalah — bukan bagian dari solusi bangsa.
Standar Ganda yang Mengkhawatirkan
Ironisnya, kalau kasus serupa terjadi di sekolah umum, yayasan sosial, atau lembaga pendidikan lain, pemberitaannya terasa lebih “netral”. Nama institusinya jarang ikut diseret. Tapi begitu kata “pesantren” muncul, semua sorotan berubah arah.
Eriyanto (2002) pernah bilang, “Media tidak pernah netral. Ia membingkai realitas sesuai ideologi dan kepentingan tertentu.”
Jadi ketika pesantren terus disorot dengan cara seperti ini, kita harus berani bertanya: ini murni pemberitaan, atau masih ada sisa agenda penjajahan yang sedang dimainkan?
Antara Klik dan Kepentingan
Mungkin sebagian jurnalis hanya ikut arus algoritma. Berita buruk menjual. Judul sensasional lebih cepat viral. Tapi ketika bias itu berulang, efeknya serius: masyarakat mulai ragu pada lembaga keagamaan yang justru jadi fondasi moral bangsa.
Mungkin juga, di balik layar, ada narasi yang sengaja dipelihara: narasi yang ingin memisahkan umat dari akar sosialnya, membuat kita curiga pada ulama sendiri.
Melawan dengan Narasi Balik
Sudah saatnya pesantren mengambil kembali kendali atas ceritanya sendiri. Bukan cuma jadi objek berita, tapi jadi penggerak narasi.
Caranya?
- Bangun unit informasi dan hubungan media di setiap pesantren besar.
- Latih santri dalam literasi media dan jurnalisme.
- Gandeng media alternatif atau jurnalis warga untuk menyebar kisah inspiratif dari dalam pesantren.
- Desak Dewan Pers dan lembaga pengawas media menindak framing yang bias dan tak berimbang.
Seperti kata almarhum Prof. Azyumardi Azra, “Pesantren adalah lembaga pendidikan paling resilien dan adaptif di negeri ini.” Dan benar, pesantren selalu bisa bertahan — asal tidak diam.




2 Komentar