Budaya populer dan media sosial kini jadi “lubang hitam” yang menghisap jati diri bangsa. Di tengah arus globalisasi, budaya lokal terdesak—meski masih ada yang berjuang menyalakan cahayanya kembali.
KOSONGSATU.ID — Di tengah derasnya arus media sosial, film, dan musik global, budaya lokal Indonesia kian terdesak ke tepi. Fenomena ini diibaratkan oleh pengamat budaya Hikmat Budiman sebagai “lubang hitam kebudayaan” — sebuah metafora tentang kekuatan besar yang menghisap energi, makna, dan daya hidup kebudayaan kita sendiri.
Istilah itu pertama kali populer lewat bukunya berjudul Lubang Hitam Kebudayaan (2002). Dalam pandangan Hikmat, budaya massa modern—yang diatur oleh logika pasar dan media—telah menjadi pusat gravitasi baru yang menarik segala sesuatu ke dalam orbitnya: gaya hidup, bahasa, selera, bahkan cara berpikir masyarakat.
Budaya Massa Sebagai Pusat Gravitasi Baru
Media massa dan media sosial kini bekerja layaknya mesin kosmik: menghisap makna dan memancarkan ulang citra-citra kosong yang tampak indah namun kehilangan akar. Televisi, iklan, sinetron, konten viral TikTok, hingga K-pop dan Marvel—semuanya membentuk semacam realitas virtual budaya, di mana nilai-nilai lokal makin kabur.
Peneliti Abd. Wahab A. Rahim dalam studinya bertajuk Dominasi Budaya Populer dan Penguatan Nilai-Nilai Budaya Melalui Media Sosial (2024) menyebut, media sosial berperan ganda. Ia bisa menjadi ladang penanaman nilai lokal, tapi juga bisa menjadi “mesin penghisap” budaya yang membuat masyarakat sibuk meniru dan mengonsumsi, bukan lagi mencipta.
Ketika Televisi dan Media Jadi Lubang Tak Berdasar
Penelitian lain tentang hegemoni budaya televisi menunjukkan bahwa tayangan-tayangan hiburan di Indonesia secara tidak sadar membawa ideologi konsumtif dan gaya hidup global. “Televisi bukan hanya menayangkan program, tapi juga menanamkan paradigma,” tulis artikel di Diksima Journal.
Di sinilah makna “lubang hitam kebudayaan” menjadi lebih nyata: media bukan lagi sekadar alat komunikasi, tetapi lubang tak berdasar yang menyedot perhatian, waktu, dan bahkan nilai moral masyarakat. Kita menikmati tayangan tentang cinta remaja, pesta mewah, atau drama perselingkuhan, tapi lupa memelihara kisah-kisah kebijaksanaan lokal dari surau, pesantren, dan balai desa.
Globalisasi: Dari Ruang Digital ke Ruang Dalam
Globalisasi budaya bukan lagi sekadar impor musik atau mode. Ia sudah menjadi mental framework — cara kita memandang dunia. Kajian dari Journal of Intercultural Communication Nusantara (2024) menyebut, nilai-nilai seperti gotong royong, tepo seliro, dan kesederhanaan kini bergeser menuju individualisme, efisiensi, dan pencitraan.
“Globalisasi mempercepat homogenisasi budaya,” tulis peneliti. Artinya, semakin banyak masyarakat di dunia — termasuk Indonesia — yang hidup dengan gaya, cita rasa, dan selera serupa, terlepas dari akar budayanya masing-masing.
Namun, Tidak Semua Tersedot
Meski demikian, “lubang hitam” ini bukan tanpa tandingan. Di banyak daerah, muncul gerakan kultural yang mencoba menyalakan kembali cahaya.
Komunitas digital seperti Arsip Budaya Nusantara, Batikverse, dan Podcast Kiai dan Kopi misalnya, memanfaatkan teknologi yang sama untuk melawan arus: mengarsipkan, menarasikan, dan menyebarkan kembali nilai-nilai lokal dalam format modern.
Peneliti dari Jurnal Cahaya Ilmu Bangsa mencatat bahwa era digital justru memberi ruang baru bagi kebudayaan lokal untuk berevolusi. “Kuncinya bukan menolak globalisasi, tapi menggunakannya untuk memperkuat diri,” tulis mereka.




Tinggalkan Balasan