Di tengah derasnya arus informasi, Rene Descartes mengingatkan: sebelum percaya, biasakanlah untuk ragu.

KOSONGSATU.ID–Pernah merasa kepalamu terlalu penuh akhir-akhir ini? Berita datang bertubi-tubi, dari pagi sampai tengah malam. Grup WhatsApp ramai, media sosial berisik, dan tiap orang merasa paling tahu kebenaran. Kadang kita ikut hanyut, tanpa sadar pikiran kita kotor—bukan karena niat jahat, tapi karena terlalu banyak hal yang kita terima tanpa sempat memilahnya.

Di titik inilah, filsuf Prancis Rene Descartes terasa begitu dekat. Empat abad lalu, ia sudah menawarkan satu cara sederhana tapi mendalam: bersihkan pikiran dengan belajar meragukan.

Descartes, yang lahir pada 1596, dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern”. Ia bukan sekadar pemikir, tapi juga penata cara berpikir. Baginya, kebenaran sejati hanya bisa ditemukan dengan logika yang jernih dan hati yang tenang. “Dubium sapientiae initium,” tulisnya. Ragu adalah awal dari kebijaksanaan.

Cara Menyortir Pikiran

Ia memberi perumpamaan yang sederhana: bayangkan pikiranmu seperti keranjang apel. Mungkin di dalamnya ada yang busuk. Maka, keluarkan semua apel itu, periksa satu-satu, lalu kembalikan hanya yang baik. Begitulah cara menata isi kepala—dengan berani menumpahkan semuanya, dan memeriksa mana yang masih layak disimpan.

Kita butuh cara seperti ini hari ini. Di era banjir informasi, orang tak lagi punya waktu untuk berpikir. Satu kabar dibantah kabar lain, satu “fakta” dituduh “hoax”, dan semua orang berlomba jadi paling benar. Padahal, seperti kata Descartes, hidup tanpa berpikir itu sama saja seperti terus-menerus menutup mata di ruang penuh cahaya.

Empat Langkah Menata Akal

Descartes punya empat langkah sederhana untuk menata akal.

Pertama, jangan percaya apa pun sebelum benar-benar terbukti. Kedua, uraikan masalah menjadi bagian-bagian kecil supaya lebih mudah dipahami.

Ketiga, bayangkan berbagai kemungkinan—seperti ilmuwan menyusun hipotesis. Dan terakhir, selesaikan satu per satu mulai dari yang mudah hingga yang rumit.

Dari sinilah lahir cara berpikir ilmiah modern. Tapi bagi Descartes, metode itu bukan cuma untuk sains. Itu juga cara menjaga kewarasan.

Bayangkan dunia hari ini: semua orang bisa bicara, semua punya panggung. Maka, sebelum bereaksi terhadap berita, mungkin kita perlu berhenti sejenak. Ragukan dulu. Uji dulu. Lihat dari banyak sisi. Itu bukan tanda tidak percaya, melainkan cara menjaga pikiran agar tidak cepat kotor.

“Aku Berpikir, Maka Aku Ada”

Descartes bahkan pernah meragukan hal paling dasar: hidup itu sendiri. “Apa jaminannya bahwa aku tidak sedang bermimpi?” tulisnya. Dari keraguan ekstrem itu, ia menemukan satu-satunya kepastian: dirinya yang sedang berpikir. Dari sanalah lahir kalimat paling terkenal dalam sejarah filsafat: Cogito ergo sum — “Aku berpikir, maka aku ada.”

Artinya, seandainya semua yang kita lihat bisa menipu, masih ada satu hal yang tak bisa diragukan: keberadaan si peragu. Saat kita berpikir, berarti kita ada.

Kesadaran inilah yang kemudian melahirkan rasionalisme—keyakinan bahwa akal, bukan indra atau emosi, adalah sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya. Mata bisa keliru, telinga bisa salah tangkap, tapi akal bisa menimbang dan mengoreksi.