Kita sering merasa tertinggal, padahal mungkin hanya karena memakai penggaris orang lain.
KOSONGSATU.ID—Sejak pertengahan abad ke-20, hampir seluruh negara menakar kemajuannya dengan satu angka: Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).
GDP adalah nilai total barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu negara dalam periode tertentu—biasanya setahun.
Rumus sederhananya begini:
Pertumbuhan ekonomi = (PDB tahun ini – PDB tahun lalu) / PDB tahun lalu × 100%.
PDB sendiri bisa dihitung lewat tiga pendekatan.
Pertama, produksi (output). Caranya menjumlahkan seluruh nilai produksi bersih dari tiap sektor ekonomi.
Kedua, pendapatan. Caranya menjumlahkan seluruh pendapatan (upah, sewa, bunga, laba) yang diterima masyarakat.
Dan ketiga, pengeluaran. Yaitu menjumlahkan konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, dan ekspor-impor.
Angka ini dianggap sakral. Jika naik, negara disebut “maju”; jika turun, langsung dicap “krisis”.
Benarkah begitu?
Ternyata tidak. Pasalnya, GDP hanyalah hasil kesepakatan politik dan ekonomi global. Ia diciptakan oleh lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia, OECD, dan PBB agar ekonomi tiap negara bisa dibandingkan dalam bahasa statistik yang sama.
Standar itu disebut System of National Accounts (SNA), yang terakhir diperbarui tahun 2008.
Masalahnya, di balik keseragaman itu tersimpan bias ideologis: GDP berangkat dari cara pandang Barat yang menilai kemajuan lewat pertumbuhan materi dan konsumsi, bukan keseimbangan sosial, spiritual, atau ekologis.
Maju Menurut Siapa?
Yang disebut “negara maju” dan “negara berkembang” sejatinya ditentukan oleh pusat kekuasaan ekonomi dunia.
Negara yang ekonominya tak tumbuh sesuai standar GDP segera dikategorikan “berisiko”, “tidak produktif”, atau “tidak kompetitif”.
Sebaliknya, negara yang GDP-nya melesat — meski menebang hutan, menyingkirkan nelayan, atau memperlebar jurang sosial — tetap dianggap sukses.
Akibatnya, banyak pemerintah mengejar angka, bukan kesejahteraan.
Pembangunan sekolah, jalan, atau rumah sakit dilakukan bukan karena kebutuhan rakyat, tapi karena menaikkan “kontribusi terhadap GDP”.
Kesejahteraan manusia direduksi menjadi urusan statistik ekonomi.
Bagaimana Jika Tak Ikut Standar Dunia?
Secara formal, tak ada hukum internasional yang memaksa semua negara memakai GDP sebagai ukuran kemajuan.
Namun secara politik dan finansial, hampir mustahil untuk menolak. Negara yang tak mengikuti standar ini akan sulit mendapat pinjaman, dinilai tidak transparan oleh lembaga kredit, dan dianggap “tidak ramah investasi”.
Di sinilah GDP berfungsi bukan sekadar indikator ekonomi, tapi juga alat kontrol global.
Ia menentukan siapa yang layak dipercaya, siapa yang dianggap gagal, dan siapa yang harus “dibimbing” dengan resep ekonomi tertentu.
Melawan Arus
Meski dominan, paradigma GDP mulai digugat.
Bhutan memperkenalkan Gross National Happiness (GNH) — mengukur kemajuan dari kebahagiaan spiritual, sosial, dan lingkungan.
Bolivia dan Ekuador menulis konsep Buen Vivir dalam konstitusi mereka: hidup baik berarti selaras dengan alam dan sesama, bukan sekadar tumbuh secara ekonomi.
Indonesia sendiri punya modal budaya untuk melahirkan ukuran tandingan.
Nilai-nilai seperti gotong royong, keadilan, keseimbangan, dan rasa syukur bisa dijadikan fondasi bagi indikator kemajuan khas Nusantara — yang lebih berpihak pada manusia, bukan sekadar mesin ekonomi.




2 Komentar