Dari peringatan Sukarno tentang dumping dan arus modal, kita belajar: penjajahan kini tak lagi pakai senjata, tapi harga dan utang.
KOSONGSATU.ID–Pernahkah Anda merasa aneh — kenapa barang impor bisa lebih murah dari produk lokal, padahal dikirim dari ribuan kilometer jauhnya? Kenapa utang luar negeri justru disebut “investasi pembangunan”?
Dan kenapa, setiap kali ekonomi kita goyah, “solusi” yang datang selalu berbentuk pinjaman baru, bukan penguatan diri?
Jawabannya sudah disampaikan jauh-jauh hari oleh Sukarno. Kapitalisme modern, katanya, bukan lagi sekadar sistem dagang. Ia setaniyah: hidup dari nafsu akumulasi tanpa batas.
Ketika pasar di negeri kaya sudah jenuh, modal mereka mencari “rumah baru” di negeri yang lemah—mengalir lewat investasi, proyek infrastruktur, dan barang murah yang tampak manis di awal tapi mengikat di akhir.
Dumping: Perang Harga yang Menghancurkan Daya
“Dumping” — menjual barang ke luar negeri dengan harga lebih rendah dari pasar domestik — adalah senjata utama sistem ini. Sukarno menyebutnya taktik penjajahan ekonomi.
Langkahnya licin tapi pasti: banting harga di negara sasaran, bunuh industri lokal, lalu naikkan harga sesuka hati ketika pesaing sudah mati.
Itu bukan teori. Sekarang, Indonesia sedang menghadapinya. Pemerintah menetapkan Bea Masuk Antidumping (BMAD) terhadap baja gulung panas dari tujuh negara. KADI bahkan terus menyelidiki praktik serupa pada keramik, benang, hingga film nilon.
Sementara itu, di sisi lain dunia, produk Indonesia juga diserang tuduhan dumping—seperti udang beku kita di Amerika Serikat. Artinya, dunia sedang berperang lewat harga. Dan yang lemah, pasti jadi korban.
Kapitalisme: Sistem yang Tak Pernah Kenyang
Kapitalisme global beroperasi seperti mesin yang harus terus hidup. Kalau modal berhenti berputar, ia mati. Maka pasar baru harus dibuka, regulasi lokal disesuaikan, dan tenaga kerja ditekan serendah mungkin agar laba terus tumbuh.
Sukarno menulisnya dengan gamblang: imperialisme modern bukan lagi soal bendera, tapi soal aliran modal. Negara maju butuh tempat menanam uangnya. Negara berkembang jadi lahannya.
Dan ketika utang dianggap “pembangunan”, ketika harga murah dianggap “kemajuan”, di situlah rantai penjajahan baru bekerja.
Mari Buka Mata: Kita Sedang Diuji
Data terbaru memperkuat semua itu.
Inflasi Indonesia 2,65 persen — terkendali, tapi permintaan domestik melemah. Defisit transaksi berjalan 0,8 persen PDB, artinya kita masih bergantung pada pembiayaan luar negeri. Rupiah fluktuatif. Dan setiap kali ekonomi melambat, yang kita dengar lagi-lagi adalah “utang baru” dan “investasi asing”.
Apakah kita benar-benar berdaulat, kalau setiap krisis disembuhkan dengan pinjaman baru? Apakah kita masih merdeka, jika arah industri ditentukan oleh siapa yang menanam modal terbesar?
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Bangsa ini tidak kekurangan semangat. Yang kurang adalah kesadaran—bahwa pertempuran ekonomi hari ini bukan lagi di pasar, tapi di kebijakan.
Dan itu bisa kita menangkan kalau mulai dari hal konkret.
Kita bisa mendukung kebijakan antidumping dan hilirisasi. Jangan anggap itu isu teknis. Itu benteng kedaulatan ekonomi. Juga mendorong pemerintah menurunkan ongkos industri dalam negeri — energi, logistik, bahan baku.
Selain itu, belanjakan uang di produk lokal. Setiap rupiah yang kita keluarkan bisa jadi perlawanan terhadap dominasi harga asing.
Kawal juga kebijakan fiskal dan moneter. Transparansi dan keberpihakan pada rakyat harus jadi dasar, bukan sekadar angka pertumbuhan.
Dan yang penting: bangun solidaritas ekonomi rakyat. Koperasi, UMKM, dan gotong royong adalah cara kita menyalurkan modal secara adil, bukan menunggu investor datang.




Tinggalkan Balasan