Kita bukan bangsa yang tertinggal. Kita hanyalah bangsa yang narasinya direbut.


“Selama singa belum punya sejarawan, kisah perburuan akan selalu memuliakan sang pemburu.” — Pepatah Afrika


KOSONGSATU.ID–Pernahkah kita berpikir kenapa sejarah yang kita pelajari di sekolah selalu dimulai dari Yunani, Roma, dan Eropa? Seolah dunia baru mengenal sains, filsafat, dan peradaban setelah Barat bangkit dari abad kegelapan.

Padahal, kalau kita menengok sedikit lebih jauh ke timur, kita akan tahu: dunia Timur justru jauh lebih dulu menyalakan obor peradaban—saat Barat masih belajar menulis alfabetnya sendiri.

Dunia Pernah Berputar dari Timur

Kita hidup di zaman di mana arah mata angin pengetahuan seolah selalu menunjuk ke Barat. Tapi sejarah sejatinya tak sesempit itu.

Ribuan tahun sebelum Renaisans muncul di Eropa, peradaban Timur sudah menulis, meneliti, berlayar, mengobati, dan berfilsafat dengan cara yang luar biasa maju.

Dunia pernah berputar dari Timur, hanya saja narasi itu direbut—dipelintir oleh tangan-tangan yang menulis sejarah untuk memuliakan dirinya sendiri.

“Eropa menulis dunia dari sudut pandangnya, dan dunia pun percaya.”

Di Tiongkok, ilmuwan telah menemukan kertas, kompas, dan mesin cetak tujuh abad sebelum Gutenberg memutar roda percetakannya. Kaisar sudah mengirim Laksamana Zheng He menyeberangi lautan menuju Afrika ketika Eropa masih takut keluar dari pesisirnya sendiri.

Cina menulis peradaban global, tapi yang diajarkan kepada kita justru kisah Columbus yang “menemukan dunia”.

Ketika Islam Menjadi Pusat Sains Dunia

Kita sering mengira ilmu pengetahuan lahir di laboratorium Eropa, padahal fondasinya dibangun di Baghdad, Cordoba, dan Samarkand. Di masa ketika Eropa masih tenggelam dalam dogma, ilmuwan Muslim menyalakan lentera rasionalitas.

Al-Khwarizmi menulis al-jabr, cikal bakal aljabar dan algoritma—tulang punggung komputer yang kita gunakan hari ini. Ibnu Sina menyusun Canon of Medicine, buku kedokteran yang menjadi kitab suci universitas Eropa selama enam abad.

Para astronom Muslim mengoreksi teori Ptolemy dan menghitung gerak planet dengan akurasi yang baru dipahami Galileo berabad-abad kemudian.

Namun, nama-nama itu jarang kita dengar. Dunia modern lebih suka mengingat penemunya, bukan sumbernya.

India: Tempat Nol Menjadi Segalanya

Lihatlah India. Dari sanalah lahir angka nol—konsep kecil yang mengubah segalanya.

Tanpa nol, tak ada komputer, tak ada kalkulator, bahkan sistem ekonomi modern tak akan pernah lahir.

Namun di sekolah, kita diajari bahwa angka itu “Arab”, padahal Arab mendapatkannya dari India.

India juga menulis filsafat kesadaran dan logika rasional jauh sebelum Socrates dan Descartes mengucap, “Aku berpikir, maka aku ada.” Manusia di sana telah merenungi hubungan antara pikiran dan alam semesta, antara yang fana dan yang abadi.

Tapi dunia Barat lebih memilih mencatat Plato dan menutup mata pada Nyaya, Vedanta, dan Sushruta Samhita—kitab kedokteran yang sudah membahas operasi ribuan tahun sebelum Hippocrates lahir.