Kisah Rumi dan gurunya, Syamsu Tabriz, mengajarkan bahwa nama baik hanyalah bayangan. Sementara kebaikan sejati tidak butuh pengakuan—ia hidup bahkan saat semua orang salah paham padamu.
Redaksi 
MALAM itu, Rumi tengah duduk bersama gurunya, Syamsu Tabriz. Udara dingin, obrolan hangat. Tapi tiba-tiba, sang guru berkata sesuatu yang aneh.
“Rumi,” katanya, “malam begini enaknya minum, ya. Tolong belikan tuak dan arak. Kita minum bareng-bareng.”
Rumi terkejut. Ia mengira gurunya sedang bergurau. Tapi wajah Syamsu Tabriz serius. “Anda ini sehat, Pak Guru?” tanyanya, ragu.
Wajar, siapa pun akan bingung. Masa seorang wali meminta muridnya membeli minuman keras? Apalagi Rumi tahu, jika orang tahu, nama gurunya bisa tercemar.
Namun Syamsu Tabriz menatapnya tajam. “Kalau kamu tidak mau, ya sudah, jangan jadi muridku,” ujarnya datar.
Demi sang guru, Rumi pun berangkat. Kedai arak itu berada di perkampungan Nasrani. Sambil menutupi wajah dengan jubah besar, ia membeli sebotol arak dan menyembunyikannya di balik jubah agar tak ketahuan orang.
Tapi ternyata ada yang memperhatikan. Seorang warga Nasrani yang melihatnya keluar dari toko arak mengikuti Rumi diam-diam. Begitu Rumi sampai di depan masjid, orang itu berteriak lantang, “Lihat! Sufi kalian beli minuman keras!”
Ketika Nama Baik Hancur Seketika
Orang-orang di sekitar masjid tentu kaget. Tak percaya. Masa mungkin seorang wali membeli arak? Tapi si penuduh tak menyerah. “Kalau tidak percaya, lihat saja di balik jubahnya!” katanya.
Jubah Rumi pun dibuka paksa. Dan benar—ada botol di sana. Seketika orang-orang menghakimi. “Wali palsu!” teriak sebagian. Rumi dipukuli, dicaci, dan dihina tanpa sempat menjelaskan.
Beberapa saat kemudian, Syamsu Tabriz datang. Ia hanya berkata tenang, “Kalian salah paham. Itu bukan arak, itu air putih. Coba periksa.”
Botol itu dibuka, dan ternyata memang benar—isi botol hanyalah air bening. Orang-orang terdiam. Mereka telah menghakimi tanpa tahu apa-apa. Syamsu Tabriz menatap Rumi yang masih terengah.
“Rumi,” katanya pelan, “kamu membanggakan apa? Nama besar? Status sufi? Penghormatan orang? Lihat, hanya karena botol kecil, semua itu lenyap. Jadi, untuk apa kamu menyombongkan nama baik?”
Antara Citra, Hoaks, dan Realitas Kita Hari Ini
Pelajaran itu tak berhenti di abad ke-13. Hari ini pun sama.
Betapa banyak orang berjuang keras mempertahankan citra, bukan kebaikan sejati. Satu isu kecil, satu potong video yang dipelintir, bisa menghancurkan nama seseorang yang dibangun puluhan tahun.
Dulu, kata seorang guru, ada ulama besar di Indonesia yang langsung dibenci satu negeri hanya karena menikah lagi. Begitu rapuh nama baik itu. Begitu mudahnya ia runtuh hanya karena persepsi.
Kita hidup di zaman yang lebih parah: era pencitraan.
Banyak orang berlomba menampilkan versi terbaik dirinya di media sosial—padahal yang tampak sering kali bukan kenyataan. Filter foto, angle sempurna, editan cahaya—semuanya adalah cara baru untuk mempertahankan ilusi bahwa kita “terlihat baik”.
Padahal, sebagaimana pesan Syamsu Tabriz, tidak penting bagaimana dunia melihatmu—yang penting bagaimana Tuhan melihatmu.




Tinggalkan Balasan