Tayangan XPOSE Trans7 yang melecehkan santri dan pesantren bukan sekadar keteledoran media. Ia adalah bentuk amnesia budaya terhadap akar peradaban bangsa sendiri.
- Redaksi.
GELOMBANG protes terhadap tayangan XPOSE Trans7 bukan sekadar kemarahan sesaat. Ia adalah jeritan nurani jutaan santri dan kiai yang selama ini menjaga api keilmuan dan moralitas bangsa dari surau, langgar, dan pesantren.
Judul provokatif “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” bukan hanya tidak lucu — tapi menyinggung martabat pesantren, menginjak kesucian tradisi yang telah berumur ratusan tahun.
Ketika tayangan hiburan menjadikan kehidupan santri sebagai bahan olok-olok, sesungguhnya yang dihina bukan hanya mereka yang mengenakan sarung dan sorban, melainkan ruh bangsa yang lahir dari rahim pesantren.
Pesantren bukan tempat kegelapan, sebagaimana dibayangkan sebagian orang kota yang mabuk modernitas.
Pesantren adalah taman ilmu dan adab. Di situlah lahir KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Dahlan, dan ribuan ulama yang membentuk wajah Islam Indonesia yang ramah, moderat, dan berkeadaban.
Kita boleh berbeda pandangan tentang metode pendidikan, tapi tidak seorang pun berhak melecehkan pesantren.
Kiai bukan selebritas, santri bukan komoditas konten. Mereka adalah penjaga moral bangsa yang hidupnya sederhana, tapi tekadnya teguh menjaga nilai.
Pesantren tidak butuh pembelaan dari siapa pun, karena mereka sendiri adalah benteng yang selama ini membela bangsa.
Namun ketika kehormatan itu diinjak oleh narasi sembrono, maka masyarakat berhak bersuara — seperti yang dilakukan jutaan santri dengan tagar #BoikotTrans7.
Permohonan maaf Trans7, meski patut diapresiasi, tidak cukup untuk menebus luka simbolik yang mereka timbulkan.
Luka itu bukan hanya pada institusi, tapi pada ingatan kolektif bangsa yang menempatkan kiai sebagai pelita dalam gelap zaman. Media seharusnya menjadi jembatan pengetahuan, bukan pembuat jarak antara kaum pesantren dan publik perkotaan.
Tugas media bukan mengolok, tapi memahami. Bukan menghakimi, tapi mendidik.
Dalam era banjir informasi, empati adalah etika tertinggi — dan pesantren telah mempraktikkannya jauh sebelum istilah “jurnalisme etis” diciptakan.
Kita perlu mengingat satu hal sederhana: tanpa pesantren, Indonesia mungkin kehilangan akarnya.
Tanpa kiai dan santri, bangsa ini takkan punya ruh perjuangan, kesabaran, dan keikhlasan yang melahirkan kemerdekaan.
Maka, jangan pernah mempermainkan simbol-simbol suci itu demi rating.
Karena pesantren bukan bahan tontonan, tapi sumber keteladanan. Dan bangsa yang menertawakan penjaga moralnya sendiri, sesungguhnya sedang menertawakan masa depannya.***




Tinggalkan Balasan