ORI lahir dari semangat kemerdekaan dan keyakinan rakyat. Tapi kenapa uang sakral itu akhirnya digantikan oleh rupiah?
KOSONGSATU.ID — Oeang Republik Indonesia (ORI) pernah menjadi simbol paling suci dari kedaulatan bangsa. Tapi mengapa uang yang lahir dari darah dan doa itu akhirnya digantikan oleh rupiah? Apakah kita sedang kehilangan makna, atau justru sedang membangun fondasi baru bagi ekonomi nasional?
Ketika ORI pertama kali beredar pada 30 Oktober 1946, ia bukan sekadar alat tukar. Ia adalah pernyataan politik: bahwa Republik Indonesia benar-benar ada, berdiri di atas keyakinan rakyatnya sendiri. Dalam kondisi perang, tanpa cadangan emas, tanpa sistem perbankan yang utuh, pemerintah berani mencetak uang sendiri. Setiap lembar ORI memuat kalimat “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”—doa yang berubah menjadi kebijakan ekonomi.
Selama tiga tahun, ORI menjadi nafas perjuangan. Ia menggantikan uang Jepang dan gulden Belanda yang masih beredar di pasar-pasar rakyat. Namun, seiring pertempuran fisik berakhir, muncul pertanyaan baru: apakah uang perjuangan ini cukup kuat menopang ekonomi sebuah negara merdeka?
Dari Kedaulatan Politik Menuju Keseragaman Negara
Jawabannya datang setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia, tetapi bentuk negara berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Perubahan politik itu membawa konsekuensi besar di bidang ekonomi: seluruh sistem keuangan harus diseragamkan, dan mata uang revolusi seperti ORI perlu diganti dengan alat bayar resmi yang diakui secara internasional.
Di lapangan, keadaan juga tidak mudah. Selama masa perang, berbagai daerah menerbitkan uang sendiri seperti ORIDA (Oeang Republik Indonesia Daerah) di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Di pasar-pasar, masyarakat bingung menentukan nilai dan keaslian. Semangat lokal memang menguat, tapi stabilitas nasional melemah. Republik yang baru lahir membutuhkan satu mata uang yang sama agar keuangan negara bisa dikendalikan dan harga-harga tak lagi liar.
Pemerintah kemudian mulai menata ulang sistem perbankan. De Javasche Bank (DJB)—bank peninggalan kolonial Belanda—untuk sementara diberi kewenangan menjalankan fungsi moneter di bawah pengawasan pemerintah Republik. Namun, nasionalisasi menjadi agenda berikutnya. Pada 1 Juli 1953, DJB resmi berubah menjadi Bank Indonesia, bank sentral milik bangsa. Dari sinilah rupiah kemudian diterbitkan dan menjadi satu-satunya alat pembayaran sah di seluruh wilayah Indonesia.
Krisis Inflasi dan Kebijakan Gunting Sjafruddin
Selain faktor politik dan kelembagaan, ORI juga digantikan karena alasan ekonomi yang mendesak. Setelah perang berakhir, inflasi melonjak tajam. Uang beredar terlalu banyak, sementara produksi barang dan hasil bumi sangat sedikit. Harga beras, gula, dan kain naik berlipat-lipat. Dalam situasi itu, nilai ORI makin tergerus. Di beberapa daerah, orang mulai kembali menggunakan barang sebagai alat tukar—suatu tanda bahwa kepercayaan terhadap uang negara mulai menipis.
Pemerintah yang baru berdiri di bawah Republik Indonesia Serikat harus bertindak cepat. Pada Maret 1950, Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara meluncurkan kebijakan radikal yang dikenal sebagai “Gunting Sjafruddin.” Nilai uang kertas dipotong separuh, sementara sebagian simpanan rakyat dibekukan untuk menekan jumlah uang beredar. Langkah ini keras, bahkan menyakitkan, tapi berhasil mengembalikan sebagian kepercayaan terhadap sistem keuangan nasional.
Pasca kebijakan itu, ORI ditarik perlahan dari peredaran. Pemerintah memperkenalkan rupiah sebagai simbol baru—bukan lagi uang perjuangan yang lahir dari romantisme revolusi, melainkan uang nasional yang lahir dari kebutuhan akan disiplin ekonomi. Rupiah menjadi representasi negara yang telah berdaulat penuh, bukan lagi negara yang sedang berjuang merebut pengakuan.
Kini, setiap kali kita melihat lembaran ORI di museum—kertas tipis yang dulu menjadi saksi keberanian rakyat mempertaruhkan segalanya—kita sedang menatap wajah masa lalu yang lembut namun tegas. ORI mengajarkan bahwa nilai ekonomi bisa lahir dari iman dan keberanian, sementara rupiah mengingatkan bahwa iman itu perlu dijaga dengan tata kelola dan disiplin.
Peralihan dari ORI ke rupiah bukan sekadar pergantian simbol moneter, tetapi refleksi perjalanan bangsa: dari semangat heroik menuju kematangan ekonomi; dari doa menuju ketertiban; dari keyakinan menuju perhitungan.
Dan mungkin di situlah pesan sejarahnya: bangsa yang berdaulat tidak hanya berani mencetak uang sendiri, tapi juga berani menjaga nilainya.***




1 Komentar