Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah menyebut salah tafsir sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia sebagai “dosa politik”. Dari Ruwatan Negara Kediri lahir petisi agar 18 Agustus diakui sebagai Hari Berdirinya NKRI.


KOSONGSATU.ID — Kekeliruan penyebutan “Kemerdekaan Republik Indonesia” kembali disorot Tarekat Shiddiqiyyah. Menurut mursyid tarekat, Syekh Muchammad Muchtarullohil Mujtaba Mu’thi atau Kiai Tar, istilah itu sudah delapan dekade menyesatkan.

“Negara ini tidak pernah dijajah. Yang dijajah selama ratusan tahun adalah bangsa Indonesia,” tegasnya, dalam Ruwatan Negara di Situs Persada Soekarno, Kediri, Senin (18/8/2025).

Kiai Tar menyebut istilah “Kemerdekaan RI” salah tempat dan keliru pasang. Proklamasi 17 Agustus 1945, lanjutnya, jelas dibacakan atas nama bangsa Indonesia, bukan atas nama presiden dan wakil presiden.

“Frasa itu penghinaan bagi bangsa, seolah-olah bangsa ini tidak pernah merdeka,” ucapnya.

Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah Syekh Muchammad Muchtarullohil Mujtaba Mu’thi di acara Ruwatan Negara, Senin (18/8). – KOSONGSATU.ID

Bagi Shiddiqiyyah, salah memahami sejarah bukan sekadar kekeliruan akademis, melainkan “dosa politik”.

Mereka tercatat konsisten memperjuangkan pelurusan istilah, bahkan pernah menggugat UU Keprotokolan ke Mahkamah Konstitusi karena menyebut 17 Agustus sebagai “Hari Ulang Tahun Republik Indonesia”. Gugatan itu ditolak awal tahun 2025, namun perjuangan mereka tak surut.

“Kalau tidak diluruskan, martabat bangsa bisa runtuh,” tandas Kiai Tar.

Harapan kepada Sejarawan

Dalam kesempatan itu, Kiai Tar berharap sejarawan nasional Anhar Gonggong—yang juga hadir dalam acara Ruwatan Negara—membantu meluruskan tafsir sejarah.

Anhar sendiri dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa yang merdeka pada 17 Agustus 1945 adalah bangsa Indonesia. Negara, kata dia, baru lahir sehari kemudian, pada 18 Agustus.

“Bangsa merdeka 17 Agustus. Negara berdiri 18 Agustus. Kalau tidak dibedakan, kita akan kehilangan kejelasan sejarah,” kata Anhar.

Sejarawan almarhum Agus Sunyoto juga pernah menegaskan hal serupa: proklamasi hanya menandai kebebasan bangsa, sementara pembentukan lembaga negara sehari sesudahnya melahirkan entitas Republik Indonesia.

Petisi Penetapan 18 Agustus Hari Lahir NKRI

Seruan itu semakin menguat dalam acara ruwatan yang dihadiri pejabat pusat dan daerah, tokoh agama, serta masyarakat luas. Dari forum itu lahir sebuah petisi: agar pemerintah menetapkan 18 Agustus sebagai Hari Berdirinya NKRI.

Ketua Harian Situs Ndalem Pojok Persada Sukarno, Kushartono, menegaskan perbedaan dua momentum tersebut. “Pada 18 Agustus, Bung Karno diangkat sebagai Presiden, UUD 1945 dan Pancasila disahkan, serta delapan gubernur pertama ditetapkan. Itu artinya negara Indonesia resmi berdiri,” ujarnya.

Menurut Kushartono, kesadaran ini penting agar bangsa tidak terjebak pada pemahaman setengah-setengah. “Kalau 17 Agustus kita rayakan sebagai Hari Kemerdekaan, maka berdirinya negara seharusnya juga kita tetapkan: 18 Agustus,” katanya.

Situs Bung Karno Jadi Saksi

Ruwatan Negara digelar di Situs Ndalem Pojok, rumah masa kecil Soekarno di Kediri, yang kini menjadi cagar budaya. Dari titik sejarah inilah kembali mengemuka aspirasi untuk mengakui 18 Agustus sebagai hari lahir NKRI.

Ruwatan itu tak hanya menjadi ritual budaya dan doa lintas agama, melainkan juga ruang politik kebudayaan: mengingatkan bangsa pada potongan sejarah yang lama terabaikan.***