Redenominasi bukan sekadar memotong nol di belakang angka, tapi ujian kepercayaan terhadap mata uang, pemerintah, dan arah ekonomi suatu negara.
KOSONGSATU.ID—Rencana redenominasi rupiah kembali muncul ke permukaan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menargetkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) rampung pada 2027, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 70/2025.
Langkah ini disebut sebagai bagian dari penataan sistem keuangan nasional, bukan solusi bagi pelemahan nilai tukar.
Namun, sejarah dunia memberi pelajaran: redenominasi bisa memperkuat kepercayaan — tapi juga bisa menghancurkannya, tergantung bagaimana dan kapan dilakukan.
Ketika Nol Dihapus, tapi Kepercayaan Hilang
Beberapa negara mencoba jalan ini di tengah krisis, dan gagal.
Pengamat Doo Financial Futures Lukman Leong mengingatkan, “Yang penting bukan nilainya, tapi kesiapan sistem — perbankan, ATM, akuntansi — semuanya harus beralih serentak agar tak menimbulkan kekacauan.”
- Zimbabwe: Hiperinflasi Tanpa Akhir
Antara 2006–2009, Zimbabwe menghapus 12 nol dari mata uangnya. Inflasi mencapai 79,6 miliar persen per bulan, dan masyarakat akhirnya beralih ke dolar AS serta rand Afrika Selatan.
Pemerintah kehilangan kendali, rakyat kehilangan keyakinan.
- Argentina: Ulang Tahun Inflasi
Di tahun 1970-an, Argentina mencoba redenominasi peso. Tapi inflasi tetap menggila, bahkan lebih dari 50 persen per bulan. Reformasi gagal karena dilakukan tanpa fondasi stabilitas ekonomi.
- Venezuela: Nol Terhapus, Krisis Bertahan
Sejak 2008, Venezuela telah menghapus 14 nol dari bolivar.
Namun, karena kombinasi kebijakan moneter yang buruk, ketergantungan pada minyak, dan sanksi internasional, inflasi tetap tinggi di atas 200 persen. Digital Bolivar pun tak mampu menyelamatkan kepercayaan rakyat.
- Brasil: Enam Kali Ganti Mata Uang
Brasil sudah enam kali mengganti mata uang sejak 1942 — dari Cruzeiro hingga Real. Baru pada 1994, stabilitas dicapai berkat reformasi fiskal yang tegas, bukan karena redenominasi semata.
- Korea Utara: Ketika Rakyat Tak Percaya
Pada 2009, pemerintah Korea Utara menukar 100 won lama menjadi 1 won baru.
Namun stok uang baru tidak mencukupi dan batas penukaran terlalu rendah. Tabungan rakyat lenyap, pasar gelap tumbuh, dan kepercayaan hancur.
- Ghana: Stabilitas Semu yang Cepat Pudar
Pada 2007, Ghana mengonversi 10.000 cedi menjadi 1 cedi baru.
Awalnya berjalan baik, tapi dalam hitungan tahun inflasi kembali naik. Efek psikologis redenominasi menguap tanpa perubahan struktural ekonomi.
Ketika Reformasi Lebih Dulu dari Redenominasi
Namun, tak semua kisah berakhir buruk. Beberapa negara menunjukkan bahwa keberhasilan bisa dicapai bila ekonomi stabil, komunikasi publik kuat, dan pemerintah dipercaya rakyatnya.
- Turki: Enam Nol untuk Kebangkitan
Tahun 2005, Turki menghapus enam nol dari lira lama. Kebijakan ini berhasil karena didahului reformasi ekonomi keras pada awal 2000-an: disiplin fiskal, penurunan inflasi, dan penguatan bank sentral.
Lira baru diterima tanpa gejolak, dan jadi simbol pemulihan nasional.
- Rusia: Rubel Baru di Tengah Krisis Lama
Pasca bubarnya Uni Soviet, Rusia mengalami inflasi besar. Tahun 1998, pemerintah menghapus tiga nol dari rubel. Langkah itu diiringi reformasi keuangan dan kebijakan ketat.
Meskipun krisis Asia menghantam di tahun yang sama, Rusia keluar dengan mata uang yang lebih stabil dan sistem moneter yang lebih modern.
- Korea Selatan: Menata Nilai, Membangun Kepercayaan
Pada 1962, Korea Selatan memotong dua nol dari won lama di tengah restrukturisasi ekonomi pasca perang. Pemerintah menyiapkan sosialisasi besar, menstabilkan harga, dan menegakkan kontrol fiskal ketat.
Keberhasilan itu menjadi fondasi lahirnya ekonomi industri modern Korea Selatan.
Pelajaran untuk Indonesia
Ahli ekonomi Nailul Huda dari CELIOS memperingatkan bahwa proses redenominasi bisa memakan waktu delapan tahun, termasuk masa pembahasan dan uji coba.
“Tidak akan mudah karena bisa menyebabkan inflasi dan menimbulkan biaya besar, bahkan ratusan miliar,” katanya.
Ia menegaskan, Indonesia belum perlu tergesa-gesa. “Stabilisasi nilai tukar rupiah harus menjadi prioritas utama sebelum kita bicara redenominasi.”
Sementara Josua Pardede dari Permata Bank menambahkan, “Redenominasi bukan resep untuk mengatasi harga atau kurs. Ini penataan sistem, dan hanya bisa berhasil bila dilakukan dalam kondisi ekonomi yang sehat.”
Menimbang Jalan ke 2027
Redenominasi rupiah bisa jadi simbol modernisasi ekonomi — jika dilakukan dengan perhitungan matang dan komunikasi publik yang jujur. Tapi, jika terburu-buru, ia bisa berubah menjadi bumerang: nol memang hilang, tapi kepercayaan ikut terhapus.
Sejarah dunia sudah menulis dua bab: satu tentang kegagalan di tengah krisis, satu lagi tentang keberhasilan di masa stabil. Kini, bab berikutnya menunggu: apakah Indonesia akan menulis kisahnya di halaman yang benar?***




Tinggalkan Balasan