Pesantren lahir bukan dari hasrat kekuasaan, melainkan dari semangat ilmu dan pengabdian. Di sinilah bedanya dunia santri dengan dunia para penguasa.
DALAM sejarah panjang kebudayaan Islam di Indonesia, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama. Ia adalah ruang lahirnya karakter dan kesadaran sosial, tempat ilmu, adab, dan spiritualitas dipadukan menjadi satu sistem kehidupan.
Bila dibandingkan dengan feodalisme atau fasisme—dua sistem kekuasaan yang dibangun atas dasar hierarki dan ketakutan—pesantren justru berakar pada keteladanan, kesukarelaan, dan pencarian ridha Allah.
Kiai dihormati bukan karena darah bangsawan atau kekayaan, melainkan karena ilmu dan akhlaknya. Santri tidak tunduk karena takut, melainkan taat karena cinta dan keyakinan. Dalam pesantren, gotong royong (roan) bukan alat eksploitasi, melainkan tradisi pendidikan moral yang mengajarkan kerendahan hati dan kebersamaan.
Kini, di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan sosial, pesantren tetap relevan. Ia menjadi benteng nilai dan moral bangsa—institusi yang bukan hanya menjaga tradisi, tapi juga terus beradaptasi dan berinovasi agar cahaya ilmu dan keteladanan tak pernah padam.
Simak ulasan selengkapnya oleh Pengasuh Pondok Pesantren Baitul Kilmah, Bantul, DIY, Aguk Irawan MN di sini.




Tinggalkan Balasan