Di balik kelahiran TNI pada 5 Oktober 1945, tersimpan jejak para kiai dan santri tarekat yang lebih dulu memegang senjata lewat Peta, Hizbullah, dan Sabilillah—sebelum akhirnya tersingkir dari sejarah resmi.
KOSONGSATU.ID—Dua bulan setelah Republik Indonesia berdiri, pemerintah menyetujui pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 5 Oktober 1945. Laskar rakyat itu menjadi embrio Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, sedikit yang tahu bahwa barisan ini banyak dipimpin oleh kiai dan ulama tarekat.
Sejarawan Nahdlatul Ulama, (alm.) Agus Sunyoto, menegaskan bahwa akar militer Indonesia sesungguhnya tumbuh dari pesantren. “BKR dari namanya saja tidak diniatkan sebagai pasukan militer,” ujar Agus dalam sebuah ceramah sejarahnya, 4 September 2015. “Hanya badan keamanan yang tugasnya membantu Sekutu memelihara ketertiban dan mengumpulkan tawanan Jepang serta Eropa.”
Militerisasi Santri pada Masa Jepang
Ketika Jepang berkuasa, kehidupan rakyat Indonesia berubah besar. Pemerintah militer Jepang membentuk satuan-satuan tempur yang melibatkan rakyat, termasuk para santri. Salah satunya, Tentara Pembela Tanah Air (Peta), dibentuk melalui Osamu Osirei Nomor 44 pada 3 Oktober 1943. Tercatat 60 batalion di Jawa dan Bali, banyak di antaranya dipimpin oleh kiai yang dikenal sebagai mursyid tarekat.
Dalam latihan pertama Peta pada 5 Oktober 1943, deretan nama kiai tercatat sebagai daidancho (komandan batalion): KH Tubagus Achmad Chatib (Labuan), KH E. Oyong Ternaya (Malingping), KH Masykur (Bojonegoro), KH Cholik Hasjim (Gresik), KH Iskandar Sulaiman (Malang), KH Djurjatman (Tegal), KH Amien Djakfar (Pamekasan), hingga KH Abdoel Chamid (Sumenep).
Surat kabar Asia Raya edisi 22 Januari 1944 bahkan sempat menulis sindiran tajam: “Apakah para kiai cukup disebut daidancho, atau seharusnya daidancho kiai?”
Hizbullah dan Jihad Militer Santri
Setahun kemudian, pada 14 Oktober 1944, Jepang membentuk Laskar Hizbullah, khusus untuk pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pelatihan perdana di Cibarusa, Bogor, diikuti 500 pemuda. Banyak di antaranya santri pesantren: KH Zarkasi (Ponorogo), KH Mursyid (Pacitan), KH Wahib Wahab (Jombang), KH Hasyim Latif (Surabaya), KH Mustofa Kamil (Banten), dan lainnya.
Ketika perang Pasifik kian genting, pusat-pusat latihan militer baru bermunculan. Salah satunya di Besuki, Banyuwangi, hasil kerja sama Majelis Syuro Muslimin Indonesia dan penguasa militer Jepang setempat.
Latihan selama sebulan di Desa Awu-awu, Temuguru, dipimpin oleh Mayor Fukai, dengan KH Mursyid sebagai penasihat dan Sulthan Fajar, komandan Hizbullah Besuki, sebagai asisten instruktur. Dari sanalah muncul jaringan santri bersenjata yang kelak menjadi tulang punggung barisan BKR di berbagai daerah.
Dari Pesantren ke Barisan TNI
Saat Republik baru berdiri, ribuan anggota Peta, Hizbullah, dan Sabilillah berbondong-bondong mendaftar ke BKR. Mereka bergabung bersama mantan prajurit Heiho (tentara pribumi Jepang) dan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger—Angkatan Darat Hindia Belanda).
Menurut Agus Sunyoto, BKR merupakan fusi dari berbagai unsur rakyat bersenjata. Banyak komandannya berasal dari Peta dan pesantren, sementara sejumlah perwira senior berasal dari KNIL seperti Oerip Soemohardjo, A.H. Nasution, dan T.B. Simatupang.
Pada 11 November 1945, dalam konferensi BKR di Purwokerto, dipilihlah Kolonel Soedirman sebagai Panglima Besar—mengalahkan dua calon lain: Oerip Soemohardjo dan Moeljadi Djojomartono. Soedirman dikenal sebagai santri Muhammadiyah, dan pasukannya menyebut beliau dengan sapaan hangat “Kajine” (Pak Haji).




1 Komentar