Menjelang Sidang Umum PBB ke-80, sejumlah negara Barat mengakui Palestina. Solusi dua negara jadi opsi. Tapi, cendekiawan Muslim menilai, solusi itu hanya memperpanjang penindasan dan ketidakadilan bagi bangsa Palestina.
KOSONGSATU.ID—Menjelang Konferensi Internasional Penyelesaian Palestina dan Sidang Umum PBB ke-80 di New York, pada 22–23 September 2025, gelombang pengakuan terhadap Palestina datang dari negara-negara Barat. Inggris, Prancis, Portugal, Australia, hingga Kanada menyatakan dukungan mereka atas pembentukan negara Palestina.
Presiden RI juga menegaskan sikap serupa dalam dua agenda pidato di forum tersebut, 22 dan 23 September 2025.
Namun bagi cendekiawan Muslim Indonesia, Haidar Bagir, solusi dua negara hanyalah kompromi yang mempertahankan ketidakadilan. Dalam tulisannya, Haidar menilai dunia yang dulu menentang kolonialisme kini justru menyarankan kompromi yang melegalkan penjajahan.
“Dalam peta nyata, Palestina telah tercerai-berai, dipagari, dan diblokade. Negara yang ditawarkan bukan berdaulat, melainkan ‘bantustan’ modern seperti kantong kulit hitam di masa apartheid Afrika Selatan,” kata Haidar, dikutip Rabu (08/10).

Israel Langgar Resolusi, Dunia Bungkam
Lebih dari 75 tahun, Israel disebutnya mengabaikan puluhan resolusi PBB. Amerika Serikat berkali-kali memveto kecaman terhadap Israel di Dewan Keamanan, memberi impunitas de facto kepada Tel Aviv.
“Bagaimana bisa lahir solusi adil, jika satu pihak diberi kekuasaan tanpa akuntabilitas?” kata Haidar. Ia menegaskan, bahkan bila kesepakatan dua negara tercapai hari ini, tak ada jaminan penindasan akan berhenti.
Israel, lanjutnya, tak pernah menunjukkan kesiapan mengembalikan Yerusalem Timur, menolak pengungsi Palestina pulang, dan ingin tetap mengontrol udara serta laut Palestina. “Apa artinya kemerdekaan tanpa kedaulatan?” ujarnya.
Usul Satu Negara Demokratis
Sebagai alternatif, Haidar menawarkan solusi satu negara demokratis, terinspirasi dari Afrika Selatan pasca-apartheid. Negara sekuler, multietnis, dan setara bagi seluruh warga Yahudi maupun Arab, Muslim maupun Kristen.
“Negara dengan satu konstitusi, satu hukum, dan satu pemerintahan yang menjamin kesetaraan sipil penuh,” jelas pendiri Penerbit Mizan ini.
Tapi pertanyaannya, “Apakah Zionisme Israel mau?”
Ia menilai, ideologi Zionisme yang mendasarkan diri pada eksklusivitas Yahudi akan menolak konsep negara tunggal. Padahal, menurutnya, dunia tak boleh tunduk hanya karena Israel kuat. “Setelah semua warga kembali, dunia internasional harus mendorong referendum terbuka untuk menentukan masa depan bersama,” tambahnya.
“Butuh Keberanian Moral”
Haidar menegaskan, masa depan Palestina harus ditentukan rakyatnya sendiri, bukan oleh veto senjata atau tekanan politik global. “Solusi satu negara bukan hanya lebih adil—ia lebih berkelanjutan. Ia tak butuh pagar, tentara, atau zona militer,” tulisnya.
Yang dibutuhkan, kata Haidar, adalah keberanian moral untuk membayangkan masa depan yang manusiawi. “Jika dunia serius ingin damai di Timur Tengah, ia harus berani memperjuangkan keadilan. Tanpa keadilan, damai hanya jadi jeda singkat sebelum luka lama berdarah lagi.”




Tinggalkan Balasan