Gotong royong bisa menjadi jawaban untuk krisis rumah tak layak huni di Indonesia. Jangan tunggu pemerintah. Semua orang bisa memulai gerakan membangun rumah layak bagi keluarga miskin dengan tenaga, niat, dan solidaritas.
KOSONGSATU.ID—Setiap musim hujan, ada keluarga yang tidak tidur nyenyak. Bukan karena suara petir, tapi karena atap rumah mereka bisa roboh kapan saja. Lantai tanah berubah jadi lumpur. Dinding anyaman bambu mulai lapuk. Anak-anak tidur meringkuk, menggigil. Dan kita semua tahu ini bukan cerita fiksi.
Masalah rumah tak layak huni bukan hal baru. Sudah ada di depan mata selama puluhan tahun. Tapi yang kita lakukan? Menunggu. Menunggu pemerintah datang dengan program bantuan, regulasi baru, atau anggaran yang—kalau pun turun—seringkali telat, tidak merata, dan penuh syarat.
Data Bicara: Rumah Tak Layak Ada di Mana-mana
Menurut data BPS tahun 2023, sebanyak 36,85% rumah tangga di Indonesia tinggal di tempat yang tidak layak huni. Itu berarti, sekitar 32 juta keluarga hidup dalam kondisi rumah yang tidak memenuhi standar dasar keselamatan, kesehatan, atau kenyamanan.
Masalah ini bukan cuma ada di desa terpencil. Di kota-kota besar pun, rumah-rumah di kantong-kantong kemiskinan banyak yang berisiko ambruk, memiliki ventilasi buruk, atau tidak punya akses sanitasi memadai.
Sebuah studi di wilayah urban menunjukkan banyak keluarga miskin tinggal di rumah dengan retakan dinding serius dan struktur rapuh.

Dalam program pemerintah seperti BSPS (Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya) tahun 2022, ditemukan bahwa dari 115 rumah yang diperiksa, 112 rumah (97%) mengalami kerusakan berat—di atas 60%. Ini menunjukkan bahwa mayoritas penerima bantuan perumahan memang hidup dalam kondisi yang nyaris tak manusiawi.
Dan itu baru data yang terjangkau. Masih banyak wilayah yang belum masuk radar survei atau terlewat dari intervensi.
Kalau Bukan Kita, Siapa?
Gotong royong bukan kata tua dari buku sejarah. Ia adalah kekuatan sosial yang masih sangat hidup—kalau kita mau hidupkan.
Dulu, membangun rumah itu soal kebersamaan. Satu orang punya kayu, yang lain bantu tenaga. Sore hari rumah berdiri, malamnya sudah bisa ditinggali.
Kenapa sekarang kita merasa semuanya harus tunggu pemerintah?
Kita punya contoh dan inspirasi. Di Yogyakarta, komunitas relawan arsitektur dan warga lokal membangun rumah untuk korban bencana secara swadaya. Di desa-desa di Jawa Timur, sistem “ngalap berkah” dijalankan: warga menyumbang seikhlasnya—tenaga, material, atau uang.
Dengan model seperti itu, satu rumah bisa dibangun dalam waktu 3 hari dengan 15–20 orang warga. Biaya material bisa ditekan dengan menggunakan bahan lokal atau barang bekas layak pakai. Tenaga kerja? Sukarela.
Tidak mewah. Tapi kokoh. Layak. Dan aman.
Tinggalkan Balasan