Istilah “anarkis” sebenarnya lahir dari cita-cita masyarakat bebas penindasan. Tapi, di Indonesia, istilah itu tereduksi dalam stigma rusuh. Barangkali perlu merebut kembali maknanya—sebagai solidaritas dan perlawanan.
KOSONGSATU.ID — Kata anarkis di telinga publik Indonesia hampir selalu berarti rusuh: bentrok, lempar batu, bakar ban, atau penjarahan. Tapi sebenarnya, sejarah kata ini jauh lebih mulia: lahir dari cita-cita tentang masyarakat yang bebas dari penindasan.
Anarkis Bukan Sekadar Rusuh
Secara etimologis, anarkis berasal dari bahasa Yunani, an- (tanpa) dan archos (penguasa). Artinya sederhana: hidup tanpa penguasa.
Dalam sejarah politik modern, ia berkembang menjadi anarkisme—sebuah gerakan intelektual yang menolak otoritas represif, baik negara maupun kapitalisme.
Salah satu tokoh yang identik dengan istilah ini adalah Pierre-Joseph Proudhon dengan semboyan “Property is theft” atau “kepemilikan adalah pencurian”.
Ungkapan ini dicetuskan oleh Proudhon (1809–1865), untuk mengkritik sistem kepemilikan pribadi atas tanah, modal, atau sumber daya yang membuat sebagian orang bisa menindas dan mengeksploitasi yang lain.
Tokoh lainnya adalah Mikhail Bakunin, yang menolak negara otoriter, memperjuangkan sistem sosial berbasis solidaritas dan kebebasan. Sedangkan Peter Kropotkin menekankan mutual aid—saling menolong—sebagai fondasi masyarakat.

Namun, di Indonesia, istilah ini bergeser makna. Alih-alih sebagai cita-cita sosial, anarkis lebih sering dipakai untuk melabeli tindakan brutal.
Anarkis di Indonesia: Dari Buruh ke Punk
Sejarah mencatat, awal abad ke-20, benih anarkisme masuk ke Hindia Belanda lewat buruh pelabuhan, migran, dan aktivis kiri. Arsip kolonial menyebut, ada simpatisan anarkis yang bercampur dengan sosialisme dan komunisme.
Setelah merdeka, istilah ini tenggelam—hanya muncul dalam konotasi negatif. Baru pada dekade 1990-an dan 2000-an, anarkis kembali terdengar lewat komunitas punk, pekerja informal, hingga aktivis akar rumput. Mereka mengusung solidaritas alternatif: dapur umum, Food Not Bombs, hingga aksi solidaritas pekerja.
Sayangnya, di media arus utama, kata ini tetap diidentikkan dengan kekerasan jalanan.
Masa Kini: Antara Kritik dan Stigma
Di Indonesia hari ini, anarkis punya dua wajah.
Pertama, sebagai kritik sosial. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan bisa menindas. Bahwa rakyat punya hak menolak ketika negara berubah jadi mesin oligarki.
Kedua, sebagai stigma politik. Banyak aksi massa yang sebenarnya damai langsung dilabeli “anarkis” hanya karena ada segelintir orang yang ricuh. Padahal, protes adalah hak konstitusional warga negara.
Di balik kericuhan Jakarta dan penjarahan rumah pejabat, istilah ini makin kabur. Apakah semua demonstrasi otomatis anarkis? Atau justru label itu dipakai untuk menakut-nakuti rakyat?
Gotong Royong: Jejak Anarkisme Nusantara
Menariknya, nilai inti anarkisme—mutual aid—sesungguhnya tidak asing bagi bangsa Indonesia. Gotong royong, sambatan, dan solidaritas sosial adalah versi lokal dari gagasan yang sama. Bedanya, di sini ia tumbuh dari budaya, bukan dari teori politik Eropa.
Di saat negara lambat hadir, seperti dalam bencana atau krisis, rakyat sering lebih dulu bergerak lewat jaringan solidaritas horizontal. Itulah wajah lain dari “anarkis” yang jarang disebut: bukan rusuh, tapi merawat kehidupan.




2 Komentar