Ketegangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah mencuat setelah 18 gubernur dari seluruh Indonesia secara terbuka memprotes kebijakan pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
KOSONGSATU.ID — Di balik protes keras para kepala daerah itu, terdapat dua pandangan yang bertolak belakang: kebutuhan efisiensi fiskal versi pemerintah pusat dan beban anggaran nyata versi daerah.
Mengapa Menkeu Memotong TKD?
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa kebijakan pemotongan TKD bertujuan memperbaiki tata kelola dan efektivitas belanja daerah. Menurutnya, banyak dana transfer yang selama ini tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan atau bahkan mengendap tanpa terserap optimal.
“Tidak semua uang yang dipakai benar-benar digunakan dengan betul,” ujar Purbaya (7/10).
Menurut Purbaya, Kemenkeu mencatat bahwa sebagian besar daerah masih memiliki sisa lebih perhitungan anggaran atau silpa besar. Data ini, kata dia, menunjukkan lemahnya penyerapan dana transfer. Karena itulah, ujar Purbaya, pemerintah memutuskan memangkas sebagian TKD hingga total Rp200 triliun—dengan alasan efisiensi serta penegakan akuntabilitas fiskal.

Kebijakan ini juga diklaim sebagai bagian dari upaya menjaga disiplin anggaran nasional, mencegah pemborosan belanja tidak produktif, dan memperkuat pengawasan pusat terhadap program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Bersamaan dengan pemangkasan TKD, alokasi untuk program nasional yang dikendalikan langsung oleh pusat justru meningkat — dari Rp900 triliun menjadi Rp1.300 triliun.
“Tujuannya bukan memangkas pembangunan, melainkan memastikan setiap rupiah memberi manfaat nyata,” tegas Purbaya.
Kenapa Gubernur Menolak?
Namun, bagi para kepala daerah, langkah Kemenkeu dianggap sebagai pukulan telak terhadap otonomi dan keseimbangan pembangunan.
Dalam pertemuan di Kantor Kemenkeu, Jakarta (7/10), yang diinisiasi Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), 18 gubernur hadir langsung untuk menyampaikan penolakan.
Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda menyebut pemotongan hingga 30 persen di tingkat provinsi — bahkan 60–70 persen di beberapa kabupaten seperti di Jawa Tengah — akan melumpuhkan banyak program prioritas.
“Semuanya tidak setuju, karena beban PPPK sangat besar dan janji pembangunan jalan serta jembatan juga besar. Ruang fiskal daerah jadi sangat sempit,” ujarnya.

Sementara Gubernur Aceh Muzakir Manaf menilai kebijakan itu berpotensi memperlebar ketimpangan pembangunan antarwilayah. Ia meminta agar pemerintah pusat mengevaluasi kembali kebijakan tersebut demi menjaga keadilan fiskal.
“Kalau beban daerah besar sementara TKD dipotong, kami tidak bisa bergerak. Ini soal keseimbangan pembangunan nasional,” tegasnya.
Di Tengah Penolakan, Ada Dukungan dari DKI Jakarta
Meski sebagian besar daerah menolak, Pemprov DKI Jakarta menjadi pengecualian. Gubernur Pramono Anung menyatakan dukungannya terhadap kebijakan penyesuaian Dana Bagi Hasil (DBH), yang oleh Menkeu dinilai sebagai contoh “kedewasaan fiskal” di tengah tekanan ekonomi nasional.
“Kami berterima kasih kepada Pak Gubernur ketika dana bagi hasil kami sesuaikan. Ini menunjukkan dukungan dan pemahaman terhadap situasi keuangan negara,” kata Purbaya.
Risiko bagi Daerah Ber-PAD Rendah
Pengamat ekonomi publik dari Universitas Gadjah Mada mengingatkan bahwa pemotongan TKD hingga 24,7 persen bisa berdampak besar bagi daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah. Daerah semacam itu sangat bergantung pada dana transfer pusat untuk membiayai gaji aparatur, layanan dasar, dan infrastruktur publik.
Kondisi ini menciptakan dilema: di satu sisi, pemerintah pusat menuntut efisiensi, tapi di sisi lain, daerah menjerit karena kekurangan ruang fiskal.
Pertemuan antara Menkeu dan para gubernur pun menjadi ujian keseimbangan fiskal sekaligus kepercayaan politik antara dua entitas pemerintahan yang sama-sama memegang kendali atas masa depan pembangunan bangsa.***
Tinggalkan Balasan