
Sementara Gubernur Aceh Muzakir Manaf menilai kebijakan itu berpotensi memperlebar ketimpangan pembangunan antarwilayah. Ia meminta agar pemerintah pusat mengevaluasi kembali kebijakan tersebut demi menjaga keadilan fiskal.
“Kalau beban daerah besar sementara TKD dipotong, kami tidak bisa bergerak. Ini soal keseimbangan pembangunan nasional,” tegasnya.
Di Tengah Penolakan, Ada Dukungan dari DKI Jakarta
Meski sebagian besar daerah menolak, Pemprov DKI Jakarta menjadi pengecualian. Gubernur Pramono Anung menyatakan dukungannya terhadap kebijakan penyesuaian Dana Bagi Hasil (DBH), yang oleh Menkeu dinilai sebagai contoh “kedewasaan fiskal” di tengah tekanan ekonomi nasional.
“Kami berterima kasih kepada Pak Gubernur ketika dana bagi hasil kami sesuaikan. Ini menunjukkan dukungan dan pemahaman terhadap situasi keuangan negara,” kata Purbaya.
Risiko bagi Daerah Ber-PAD Rendah
Pengamat ekonomi publik dari Universitas Gadjah Mada mengingatkan bahwa pemotongan TKD hingga 24,7 persen bisa berdampak besar bagi daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah. Daerah semacam itu sangat bergantung pada dana transfer pusat untuk membiayai gaji aparatur, layanan dasar, dan infrastruktur publik.
Kondisi ini menciptakan dilema: di satu sisi, pemerintah pusat menuntut efisiensi, tapi di sisi lain, daerah menjerit karena kekurangan ruang fiskal.
Pertemuan antara Menkeu dan para gubernur pun menjadi ujian keseimbangan fiskal sekaligus kepercayaan politik antara dua entitas pemerintahan yang sama-sama memegang kendali atas masa depan pembangunan bangsa.***
Tinggalkan Balasan