Kalimat “agama adalah candu” yang pernah diucapkan Karl Marx sering dijadikan senjata untuk menyerang keyakinan. Benarkah kalimat itu serangan terhadap Tuhan? Atau jeritan dari luka sosial Eropa di tengah sistem ekonomi yang menindas manusia?
KOSONGSATU.ID—Karl Marx menulis kalimat itu dalam Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1844). Lengkapnya berbunyi: “Agama adalah keluh kesah makhluk tertindas, hati dari dunia tanpa hati, dan jiwa dari kondisi tanpa jiwa. Ia adalah candu bagi rakyat.”
Pada masa itu, Eropa sedang diguncang oleh Revolusi Industri. Mesin-mesin pabrik menggantikan tenaga manusia. Produksi meningkat, tetapi kekayaan justru menumpuk di tangan segelintir orang.
Kaum borjuis, pemilik modal dan pabrik, hidup mewah di kota-kota industri seperti Manchester dan London. Sementara itu, kaum proletar — para buruh — bekerja 14–16 jam sehari dengan upah yang nyaris tidak cukup untuk makan. Anak-anak pun ikut dipaksa bekerja di pabrik agar keluarga bertahan hidup.
Tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada hari libur, tidak ada serikat buruh. Rumah-rumah kumuh berdesakan di tepi sungai penuh limbah industri.
Sementara Gereja tetap berdiri megah, sibuk memberkati para bangsawan yang menyumbang uang, dan menyerukan agar rakyat “bersabar, karena surga akan membalas deritamu di dunia.”
Di titik inilah Marx melihat: agama digunakan untuk mematikan kesadaran sosial. Ia menenangkan, bukan membebaskan. Ia menghibur, bukan mengubah.
Agama, kata Marx, membuat orang merasa tenang dalam penderitaan — seperti candu yang membuat sakit terasa ringan, tapi tidak menyembuhkannya.
Sistem Kapitalisme dan Lahirnya Alienasi
Marx tidak hanya marah pada Gereja, tapi pada seluruh struktur ekonomi kapitalis. Ia melihat bahwa dalam sistem ini, manusia dijadikan alat produksi.
Buruh menjual tenaga, tapi tidak memiliki hasil kerjanya. Mereka terasing (alienated) dari dirinya sendiri: bekerja bukan karena cinta pada pekerjaan, tapi karena kebutuhan untuk hidup.
Produksi dalam kapitalisme, menurut Marx, bukan lagi tentang memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tentang mengejar keuntungan tanpa batas. Maka, kemiskinan buruh bukanlah kecelakaan moral, melainkan konsekuensi sistemik.
Dalam dunia seperti itu, agama — yang seharusnya menuntun keadilan — justru berperan sebagai “candu”. Ia membuat buruh menerima nasib, bukan melawannya.
Bagi Marx, agar manusia benar-benar bebas, ia harus melepaskan diri dari ilusi spiritual dan mengganti dengan kesadaran material.
Makna Sejati dari “Candu”
Namun penting diingat: Marx tidak sedang menghina iman. Ia mengakui bahwa agama lahir dari penderitaan nyata manusia. Ia adalah “jiwa dari dunia tanpa jiwa.”
Agama, katanya, adalah reaksi terhadap keputusasaan. Tapi, seperti candu, ia hanya meredakan gejala — bukan menyembuhkan penyakit sosial itu sendiri.
Maka, bagi Marx, tugas manusia bukan membenci agama, tetapi menghapus kondisi sosial yang membuat agama menjadi satu-satunya pelipur lara.
Jika Dibandingkan dengan Dunia Kini
Menariknya, sebagian kondisi yang dikritik Marx masih terasa di abad ke-21, meski dalam wajah baru. Kapitalisme global hari ini tak lagi berbentuk pabrik berasap di Inggris, melainkan algoritma digital dan pasar global yang memproduksi kesenjangan.
Kaum pekerja tak lagi diikat mesin uap, melainkan terjebak dalam sistem kerja fleksibel tanpa batas waktu — dari gig economy, influencer labor, hingga pekerja lepas daring yang “merdeka” tapi tanpa jaminan.
Kesenjangan kekayaan global juga ekstrem: 1 persen populasi dunia menguasai lebih dari separuh aset global. Sementara itu, banyak masyarakat di negara berkembang mencari ketenangan lewat konsumsi spiritual instan—kadang tanpa diiringi perubahan sosial yang nyata.
Dalam konteks inilah, kalimat Marx terasa menggema kembali. Tapi pertanyaannya: apakah agama memang selalu meninabobokan, atau justru bisa menjadi energi perubahan sosial?




2 Komentar