Setiap 30 September, dunia memperingati Hari Rumi. Ajaran cinta universal Maulana Jalaluddin Rumi kembali mengemuka, jadi pegangan manusia modern yang gelisah di tengah hiruk-pikuk digital.
Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah, Syekh Muchammad Mukhtarullohil Mujtaba Mu’thi, menyebut Hari Rumi Dunia sebagai tanda kebangkitan tasawuf global.
Rumi lahir pada 6 Rabi’ul Awwal 604 H atau 30 September 1207. UNESCO menetapkan hari lahirnya sebagai momen untuk mengenang pesan cinta, toleransi, dan perdamaian. “Ini tanda pertama kebangkitan ilmu tasawuf dunia,” tutur Sang Mursyid dalam sebuah pengajian pada 1 Muharram 1444 H.
Rumi dan Kebangkitan Tasawuf
Puisi Rumi dibacakan di masjid, gereja, sinagog, hingga universitas.
Menurut Andrew Harvey, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh peneliti Denny JA dan diunggah pada akun Facebook-nya, Rumi adalah gabungan unik: visi spiritual sedalam Buddha atau Yesus, pemikiran seluas Plato, dan kepiawaian kata seindah Shakespeare.
Maka, tak heran bila Rumi masih relevan di abad ke-21. Kedalaman spiritual, keluasan intelektual, dan keindahan puisinya membuatnya nyaris tak tertandingi. Annemarie Schimmel bahkan menghabiskan 40 tahun untuk meneliti karya-karyanya.
Fenomena “Rumi modern” bahkan melampaui komunitas Muslim. Kelompok sufi tumbuh di Eropa dan Amerika, menggabungkan spiritualitas Rumi dengan tradisi mistik Barat. Mereka menamai gerakan ini sacred activism—aktivisme berbasis cinta dan kesadaran batin.
Jalan Cinta di Era Algoritma
Di era digital, manusia hidup dalam “desa global”. Menurut Denny JA, ilmu pengetahuan memberi banyak hal, tapi tidak cukup menjawab makna hidup.
Agama sering terjebak formalitas dan sekat primordial. Rumi justru mengajak menembus akar agama menuju hati yang menyatukan semua manusia.
Untungnya puisi Rumi berbicara universal. Ia menulis, “Agamaku adalah cinta. Setiap hati rumah ibadahku.” Dalam bait lain ia berkata, “Kucari Tuhan di Candi, Gereja, dan Mesjid. Namun kutemukan Dia di hatiku.”
Pesan ini relevan di tengah algoritma media sosial yang sering menahan manusia dalam gelembung informasi. Rumi mengingatkan bahwa kebenaran adalah cermin pecah—setiap orang hanya memegang secercah pantulan.
Rumi juga menekankan harmoni dengan alam.
Guru Besar UIN Jakarta, Mulyadi Kartanegara, pernah mengingatkan dalam peringatan 800 tahun kelahiran Rumi di Gedung Kesenian Jakarta pada 2007: bumi dan langit adalah pasangan yang saling melengkapi.
Namun manusia modern kerap mengeksploitasi alam tanpa batas. Rumi sudah menulis peringatannya berabad-abad lalu: “Ketika alam tidak dicintai, ia akan runtuh.”
Di mata generasi muda hari ini, Rumi bisa jadi lebih dari sekadar penyair klasik. Ia menawarkan peta jalan batin untuk keluar dari kesepian, polarisasi, dan jebakan algoritma digital.
Dengan bahasa cinta yang sederhana namun mendalam, Rumi mengingatkan bahwa kehidupan bukan hanya tentang data, pencapaian, atau layar ponsel, melainkan tentang keberanian mencintai sesama manusia dan semesta.***
Tinggalkan Balasan