Dua bapak bangsa dengan mimpi yang sama: Indonesia merdeka. Namun, Sukarno memilih jalan kompromi dengan Jepang, sementara Tan Malaka menolak mentah-mentah segala bentuk kerja sama dengan penjajah.

KOSONGSATU.ID—Di persimpangan sejarah kemerdekaan, dua bapak bangsa menempuh jalannya masing-masing. Soekarno, dengan pidato-pidato berapi-api, memilih berkompromi dengan Jepang. Tan Malaka, tokoh yang keras kepala dan penuh idealisme, tetap teguh dengan garis non-kooperatif.

Bagi Tan, kemerdekaan sejati tak boleh bergantung pada belas kasih asing. Pandangan ini ia tegaskan dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara Jilid III, tempat ia menuliskan kekecewaannya melihat Soekarno bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang.

Menurutnya, dialog dengan penjajah baru sah dilakukan setelah mereka angkat kaki dari tanah air.

Sejarawan dan akademisi ikut membedah perbedaan ini. Dimas Ginanjar, dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, menulis dalam artikelnya Kemerdekaan: Hasil Perjuangan, Bukan Hadiah, bahwa Tan Malaka dan Sutan Sjahrir mewakili kelompok non-kooperatif yang menolak keterlibatan Jepang maupun PPKI.

Sebaliknya, Soekarno dan Mohammad Hatta dipandang lebih realistis: bekerja sama dengan Jepang untuk mempersiapkan bangsa menuju kemerdekaan.

Sejarawan Belanda, Walentina de Jonge, dalam bukunya Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan (2015), menulis: kisah Jepang memperalat Sukarno-Hatta sebetulnya lebih tepat disebut kisah Soekarno-Hatta memperalat Jepang.”

Soekarno dan Hatta punya lima perhitungan: Jepang pasti kalah, perlawanan fisik mustahil, kompromi bisa menghindari kekejaman militer, popularitas mereka tak memungkinkan bekerja di bawah tanah, dan kesempatan itu dipakai untuk menyiapkan syarat-syarat negara.

Namun, kalkulasi itu semakin memperlebar jurang dengan Tan Malaka. Yang satu berkompromi dengan musuh, yang satu menolak segala bentuk tawar-menawar.

Langkah ‘Koorperatif’ Soekarno yang Mengecewakan Tan Malaka

Tanggal 3 September 1944, ratusan romusha Indonesia berangkat ke Burma—sekarang Myanmar. Mereka berbaris gagah, merasa terhormat karena dilepas langsung oleh Soekarno—yang kala itu menjadi Ketua Jawa Hokokai, jabatan yang diperolehnya dari taktik kerja sama dengan Jepang.

Dengan gaya pidato khasnya, Soekarno menyatakan bahwa pengiriman itu adalah bukti kesetiaan rakyat Jawa kepada Dai Nippon.

Sebagai Ketua Jawa Hokokai, Soekarno bahkan terjun langsung ke Bayah, Banten. Ia difoto dengan cangkul di tangan, ikut mengangkat karung pasir, dan tinggal sebentar di barak sederhana.

Sukarno ketika menjadi romusha di Bayah, Banten Selatan. – Dok. Istimewa

Foto-foto itu, menurut sejarawan Jepang Aiko Kurasawa, menjadi propaganda untuk meyakinkan rakyat bahwa kerja paksa adalah pengabdian.

Namun, bertahun-tahun kemudian, kepada penulis Amerika Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno mengaku menyesal:

“Sesungguhnya akulah Soekarno yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, akulah orangnya… Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian… Aku bergambar dengan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudahnya menjadi romusha. Mengerikan. Ini membikin hati seperti diremuk-remuk.”

Kenyataannya, romusha tidak pernah kembali. Aiko Kurasawa mencatat 30 ribu romusha mati di jalur kereta Thailand–Burma. Ribuan lainnya meninggal di proyek rel Saketi–Bayah akibat kelaparan dan penyakit.

Bagi Tan Malaka, apa yang dikerjakan Soekarno kala itu adalah pengkhianatan. Menurut catatan sejarawan Belanda Harry A. Poeze, dalam Pergulatan Menuju Republik, Tan bersaksi bahwa ratusan romusha mati setiap bulan akibat malaria dan kolera.

Kekecewaan ini mempertegas pandangannya bahwa kompromi Soekarno hanya menyisakan korban.bersambung