Globalisasi: Dari Ruang Digital ke Ruang Dalam

Globalisasi budaya bukan lagi sekadar impor musik atau mode. Ia sudah menjadi mental framework — cara kita memandang dunia. Kajian dari Journal of Intercultural Communication Nusantara (2024) menyebut, nilai-nilai seperti gotong royong, tepo seliro, dan kesederhanaan kini bergeser menuju individualisme, efisiensi, dan pencitraan.

“Globalisasi mempercepat homogenisasi budaya,” tulis peneliti. Artinya, semakin banyak masyarakat di dunia — termasuk Indonesia — yang hidup dengan gaya, cita rasa, dan selera serupa, terlepas dari akar budayanya masing-masing.

Namun, Tidak Semua Tersedot

Meski demikian, “lubang hitam” ini bukan tanpa tandingan. Di banyak daerah, muncul gerakan kultural yang mencoba menyalakan kembali cahaya.

Komunitas digital seperti Arsip Budaya Nusantara, Batikverse, dan Podcast Kiai dan Kopi misalnya, memanfaatkan teknologi yang sama untuk melawan arus: mengarsipkan, menarasikan, dan menyebarkan kembali nilai-nilai lokal dalam format modern.

Peneliti dari Jurnal Cahaya Ilmu Bangsa mencatat bahwa era digital justru memberi ruang baru bagi kebudayaan lokal untuk berevolusi. “Kuncinya bukan menolak globalisasi, tapi menggunakannya untuk memperkuat diri,” tulis mereka.

Menatap Cermin: Apa yang Masih Tersisa dari Kita?

Di era ketika semuanya bisa digandakan, diunggah, dan dikomentari dalam hitungan detik, kebudayaan mudah berubah menjadi sekadar konten. Di sinilah refleksi Hikmat Budiman terasa kian relevan: kita sedang hidup di antara bayangan-bayangan citra, sementara realitas budaya yang sejati perlahan memudar.

Lubang hitam kebudayaan itu tak akan berhenti berputar. Tapi pilihan ada di tangan kita—apakah akan tersedot di dalamnya, atau memantulkan kembali cahayanya menjadi daya cipta baru bagi kebudayaan Indonesia.***