Ada 97 rumah gratis yang lahir lewat gotong royong OPSHID. Lebih dari sekadar hunian baru, ini adalah kisah haru kemenangan rakyat.

KOSONGSATU.ID–Di sebuah desa kecil di Sleman, Bu Siti berdiri terpaku di depan rumah barunya. Matanya berkaca-kaca, suaranya lirih ketika berucap, “Saya tidak pernah bermimpi punya rumah seperti ini.”

Bertahun-tahun ia tinggal di rumah reyot bersama tiga anak dan dua kakaknya, bertahan di tengah keterbatasan. Hari itu, ia tidak hanya menerima sebuah bangunan, melainkan sebuah harapan baru.

Cerita Bu Siti hanyalah satu dari 97 kisah yang lahir dari gerakan Rumah Syukur Shiddiqiyyah Fatchan Mubina. Program ini membuktikan bahwa gotong royong mampu melampaui janji-janji kosong yang terlalu kerap terdengar.

Ketika banyak orang memilih menunggu bantuan pemerintah, OPSHID memilih bergerak sendiri. Tanpa proposal panjang, tanpa pamrih. Hasilnya, 97 rumah gratis berdiri serentak di 17 provinsi—bertepatan dengan 97 tahun Sumpah Pemuda.

Nama Fatchan Mubina sendiri bukan sembarang nama. Terinspirasi dari QS. Al-Fath:1, artinya “kemenangan nyata”.

Filosofinya sederhana: kemenangan sejati bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang mau peduli. Itulah mengapa setiap rumah yang berdiri dianggap bukan sekadar bantuan, melainkan kemenangan nyata rakyat Indonesia.

Kemenangan itu juga nyata terasa di Pati, Jawa Tengah. Sherly, bocah lima tahun yang sejak bayi sudah yatim piatu, kini bisa tidur nyenyak di rumah baru bersama neneknya yang seorang buruh tani. Rumah reyot yang nyaris roboh digantikan bangunan kokoh, hasil kerja keras pemuda OPSHID dan dukungan warga.

Di Bekasi, Nenek Rokiyah yang sudah berusia 70 tahun akhirnya memiliki rumah permanen setelah puluhan tahun tinggal di gubuk 3×6 meter. Warga sekitar ikut bahu membahu, aparat desa turun tangan, semua demi memastikan sang nenek menutup hari tuanya dengan lebih tenang.

Cerita lain datang dari Gorontalo. Di daerah yang bahkan tidak menjadi basis OPSHID, sebuah rumah tetap berhasil berdiri. Pesan yang mereka bawa jelas: kepedulian tidak mengenal batas wilayah. Selama ada niat untuk berbagi, rumah-rumah harapan akan terus lahir di mana pun.

Gerakan ini tidak pernah menyebutnya sebagai “donasi”. Mereka lebih suka menyebutnya gotong royong untuk Indonesia Raya.

Semua orang bisa ikut serta, mulai dari Rp50.000 untuk sebatang bata, Rp250.000 untuk semen, hingga Rp4.000.000 untuk satu meter persegi rumah. Setiap rupiah yang disumbangkan menjadi amal jariyah, setiap kontribusi menjadi bukti cinta tanah air.

Kini, di balik setiap dinding rumah baru itu, tersimpan cerita perjuangan dan harapan. Ketika 97 rumah berdiri, Indonesia seperti menang sekali lagi—bukan karena pesta politik atau selebrasi kekuasaan, melainkan karena rakyat memilih bergotong royong demi masa depan yang lebih layak.***