Target Kesehatan vs Dampak Sosial
Meski di atas kertas kebijakan itu selaras dengan rekomendasi WHO—yang mendorong porsi pajak tembakau minimal 75 persen dari harga ritel—pelaksanaannya menimbulkan polemik. Struktur tarif yang rumit, potensi penurunan daya serap tenaga kerja industri padat karya, serta maraknya rokok ilegal menjadi catatan penting.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) melaporkan jutaan batang rokok ilegal disita setiap tahun melalui operasi nasional seperti Operasi Gempur. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif tidak otomatis menekan konsumsi, melainkan membuka ruang peredaran rokok tanpa cukai.
Arah Purbaya
Purbaya menegaskan pihaknya belum tentu menurunkan tarif cukai, namun akan memprioritaskan perlindungan pasar domestik dan pemberantasan rokok ilegal, termasuk yang beredar secara daring. “Kalau (cukai) enggak turun, tapi pasar mereka saya lindungi. Online-online yang palsu itu saya larang,” tegasnya.
Ia juga berencana turun langsung ke sentra industri rokok di Jawa Timur untuk menyerap aspirasi pelaku usaha sebelum memutuskan arah kebijakan selanjutnya. “Akan saya lihat seperti apa sih, (perlu) turun apa enggak,” ujarnya.
Dengan demikian, perdebatan soal tarif cukai rokok kini memasuki babak baru. Dari era Sri Mulyani yang agresif menaikkan tarif demi alasan kesehatan dan penerimaan, kini bergeser ke era Purbaya yang menekankan keseimbangan antara perlindungan pasar, tenaga kerja, dan petani tembakau, tanpa mengabaikan ancaman rokok ilegal.***
Tinggalkan Balasan