Tragedi robohnya musala Ponpes Al-Khoziny memicu tudingan soal kelalaian pesantren. Namun, banyak pihakj menegaskan, kritik publik kebanyakan keliru memahami kebatinan pesantren yang tumbuh dari pengabdian dan kemandirian.
KOSONGSATU.ID — Robohnya mushalla di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, memicu reaksi luas. Dari simpati hingga hujatan, sebagian publik menuding pesantren tidak profesional dan tradisi roan dianggap bentuk feodalisme. Namun, sejumlah pihak menilai kritik itu berlebihan dan gagal memahami kebatinan pesantren.
“Hampir pemerintah tidak hadir di situ, terutama di pesantren salaf. Tolong pahami suasana kultural dan kebatinan pesantren di pelosok Indonesia,” tegas Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi dalam siniar Terus Terang Media, Kamis (9/10).
Islah menjelaskan, pembangunan pesantren sering dilakukan secara swadaya. Para kiai menghibahkan tanah pribadinya, membangun sedikit demi sedikit sesuai kemampuan.
“Kalau punya uang beli semen 50 sak, ya dibangun. Mampu beli seribu batu bata, ya dilanjut. Begitu terus tahun demi tahun,” ujarnya.
Soal keterlibatan santri, Islah menilai hal itu bukan eksploitasi, melainkan bentuk pengabdian. Para kiai tetap mempekerjakan tukang profesional, sementara santri membantu sebatas tenaga ringan, seperti mengaduk adonan dan membawa bahan bangunan.
“Ini bagian dari ghirah perjuangan santri membantu kiai. Jangan disamakan dengan sekolah modern berfasilitas mewah,” katanya.
Islah juga menegaskan kesiapannya “pasang badan” membela pesantren. Ia menyerukan agar DPR dan pemerintah lebih berperan memodernisasi pesantren tanpa menghapus kemandiriannya.
“Yang perlu dipikirkan ke depan adalah bagaimana pesantren bisa modern tanpa kehilangan ruhnya,” ujarnya.
Roan Bukan Feodalisme
Pandangan senada datang dari Pengasuh Ponpes Baitul Kilmah, Aguk Irawan. Ia menegaskan, tradisi roan—gotong royong santri membantu pesantren—memiliki akar teologis kuat dalam ajaran Islam dan budaya pesantren.
“Hubungan santri dan kiai itu bukan relasi kerja, tapi pengabdian. Ilmu datang kepada yang menghormati guru,” ujarnya, dalam siniar Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Jumat (10/10).
Aguk menjelaskan tiga dasar etika pengabdian santri, yaitu Sewakadharma (pengabdian tulus kepada guru), Dharmapala (kasih sayang antarsesama), dan Dharmasunya (kesadaran spiritual mendalam).
“Kalau santri membantu kiai, itu bagian dari barokah ilmu, bukan perbudakan,” tegasnya.
Ia menambahkan, kisah klasik seperti Werkudara dan Durna dalam Serat Dewaruci mencerminkan kepatuhan murid terhadap guru demi keberkahan hidup.
“Ini bukan soal logika publik, tapi akidah teologis yang bersifat privat,” katanya.
Saatnya Fikih Bertemu Sains
Meski begitu, Aguk mengakui tragedi Al-Khoziny harus menjadi pelajaran penting. Pembangunan pesantren ke depan, katanya, perlu memadukan fikih dan sains. “Bangunan pesantren harus mengikuti standar konstruksi yang benar. Pemerintah juga jangan mempersulit izin IMB,” ujarnya.
Menurutnya, jika pekerjaan fisik dilakukan dengan pendekatan fikih sains, maka tenaga profesional harus dilibatkan, sementara santri cukup membantu. “Kalau tidak, risiko keselamatan tetap tinggi,” katanya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, menambahkan bahwa semangat roan tetap harus berjalan, namun berbasis keselamatan. Ia menyarankan agar pesantren membuat standar operasional kegiatan roan dan menjalin kerja sama dengan lembaga pelatihan agar kegiatan itu bernilai edukatif.
“Spirit roan itu penting, tapi harus dilaksanakan dengan itqan dan amanah, agar pesantren terus jadi mercusuar peradaban,” kata Tholabi, Kamis (9/10).***




Tinggalkan Balasan