Gencatan senjata Hamas–Israel resmi dimulai, tapi pengamat menilai perdamaian masih jauh. Hamas diyakini tak akan melepas sandera sebelum Israel menunjukkan iktikad baik dan solusi Gaza disepakati bersama.
KOSONGSATU.ID — Fase pertama gencatan senjata antara Hamas dan Israel resmi berlaku pada Jumat (10/10), setelah kabinet Israel menyetujui penghentian perang di Jalur Gaza. Meski dunia menyambut positif, sejumlah pengamat menilai peluang perdamaian permanen masih tipis.
Pengamat Timur Tengah, Dina Y. Sulaiman, menilai, Hamas kemungkinan besar tetap menahan sanderanya sambil menunggu bukti iktikad baik dari Israel. Ia menilai, proposal perdamaian yang beredar sulit membuka jalan menuju negosiasi status Gaza secara permanen.
“Dalam proposal itu disebutkan pemerintahan Gaza akan diserahkan kepada komite berisi orang Palestina, tapi tidak dijelaskan siapa saja yang akan terlibat,” kata Dina dalam siaran Metro Siang, Metro TV (10/9).
Menurutnya, poin paling krusial adalah pengecualian terhadap Hamas dan faksi-faksi pejuang Palestina dari struktur pemerintahan baru.
“Bahkan Otoritas Palestina pun tidak disebut. Ini tidak bisa diterima oleh rakyat Palestina. Harus ada konsensus nasional,” tegasnya.
Dina menambahkan, secara hukum internasional, bangsa yang dijajah berhak menentukan nasibnya sendiri. Karena itu, mediasi yang tak melibatkan Palestina secara langsung dinilai tak akan menghasilkan perdamaian yang adil dan permanen.
Riwayat Pelanggaran Israel
Sejarah mencatat, Israel berulang kali melanggar perjanjian gencatan senjata.
Menurut laporan kantor media pemerintah Gaza pada Maret 2025, sejak gencatan 19 Januari, tentara Israel telah melakukan lebih dari 900 pelanggaran—termasuk serangan udara, artileri, hingga penutupan akses bantuan kemanusiaan.
“Israel mengebom rumah, menarget kendaraan, bahkan melarang masuknya bahan bakar dan tenda untuk pengungsi,” kata Direktur Kantor Media Gaza, Ismail Al-Thawabta, dikutip Senin (13/10).
Ia mendesak komunitas internasional menuntut Israel menghormati kesepakatan gencatan senjata.
Anggota Biro Politik Hamas, Basem Naim, juga menegaskan bahwa pihaknya mematuhi perjanjian. Sementara Israel justru berulang kali melanggar dengan menutup perbatasan dan menyerang warga sipil.
Sebelum gencatan Oktober ini, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) juga sempat melancarkan serangan sepihak di Gaza pada 18 Maret 2025, menewaskan sedikitnya 710 warga Palestina.
Respons Indonesia dan Dunia
Kementerian Luar Negeri RI menyampaikan apresiasi kepada Amerika Serikat, Turki, Mesir, dan Qatar atas keberhasilan mediasi gencatan senjata tahap pertama.
“Indonesia sampaikan penghargaan atas mediasi tersebut dan tekankan pentingnya pelaksanaan setiap butir kesepakatan dengan iktikad baik,” tulis @Kemlu_RI di platform X.
Pemerintah Indonesia juga berharap akses bantuan kemanusiaan segera dibuka dan siap berpartisipasi dalam rekonstruksi Gaza. Selain itu, Indonesia mendorong agar momentum ini digunakan untuk menghidupkan kembali proses perdamaian berdasarkan solusi dua negara.
Fase pertama gencatan senjata merupakan bagian dari inisiatif Presiden AS Donald Trump, yang mencakup penghentian perang selama 24 jam dan pembebasan sandera dalam 72 jam berikutnya. Sebagai imbalannya, Israel juga setuju membebaskan sejumlah tahanan Palestina.
Namun, para pengamat menilai tanpa mekanisme pemantauan yang tegas, gencatan senjata berisiko kembali dilanggar. “Implementasi di lapangan adalah ujian sejati bagi komitmen perdamaian kedua pihak,” tutup Dina.***




Tinggalkan Balasan