Fitnah terhadap pesantren bukan hal baru—ia warisan penjajahan yang kini hidup lagi lewat layar media.
KOSONGSATU.ID—Framing negatif terhadap santri dan pesantren makin gencar belakangan ini. Lembaga pendidikan asli Nusantara yang la raiba fih—tak diragukan sedikit pun konsistensi amal jariyahnya bagi Indonesia—dicap feodal, sarang bullying, bahkan tempat pelecehan seksual.
Narasi-narasi insinuatif ini berjalan sistemik, terstruktur, dan masif. Barangkali ada dirigen, konduktor, dan bohir yang mengatur orkestrasi fitnah terhadap lembaga tua yang selama berabad-abad menjadi benteng moral bangsa.
Dan narasi pendiskreditan pesantren bukan hal baru. Akar fitnah ini sudah membentang jauh ke masa lampau—ke masa penjajahan Belanda.

Jejak Fitnah Sejak Zaman Penjajahan
Dalam potongan berita koran Java Bode abad XIX, tertulis jelas bagaimana pandangan para penjajah terhadap pesantren:
“Sebagaimana tradisi yang berlaku, anak-anak negeri (pribumi) telah menerima pendidikan pelatihan di daerah mereka masing-masing. Akan tetapi, pesantren-pesantren ini terus-menerus menarik para santri untuk belajar di sana, meskipun banyak di antara para santri yang cerdas akan segera melarikan diri begitu mereka melihat tidak ada yang bisa dipelajari di tempat itu… Di beberapa pesantren tidak ada lagi pendidikan yang sungguh-sungguh. Para guru serta murid hanya mempelajari ilmu hitam, di beberapa pesantren seperti di kabupaten Bangkalan, memperlihatkan bagaimana hubungan antara keduanya merupakan sesuatu yang paling menjijikkan.” (Java Bode, abad XIX)
Narasi ini bukan sekadar opini, tapi strategi. Pesantren sengaja digambarkan sebagai sarang kebodohan untuk menjustifikasi misi “peradaban” yang dibawa penjajah.
Pakar bahasa dan hukum Islam, L.W.C. van den Berg—penerus Snouck Hurgronje—mengulang nada serupa dalam bukunya De Mohammedaansche Geestelijkheid en de Geestelijke Goederen op Java en Madoera.
Ia menulis: “Masing-masing santri belajar untuk keperluan mereka sendiri dan jarang belajar bersama-sama. Hanya ketika malam hari mereka berkumpul di koridor utama di mana sang guru mengajar dengan lampu gantung yang primitif.”
Menurut van den Berg, jika seorang kiai wafat, pesantrennya pun akan mati. Ia menyimpulkan pesantren miskin sistem, miskin ilmu.
Padahal, tuduhan itu hanyalah bungkus dari kepentingan besar: membuka ruang bagi pendidikan “modern” ala Barat, agar pengaruh pesantren melemah dan rakyat lebih mudah dikendalikan.
Strategi Penjajahan Menjinakkan Islam
Dari pesantrenlah perlawanan terhadap penjajah banyak berawal. Dari Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, para kiai Banten yang memimpin perlawanan petani, Kiai Ahmad Ngisa di Banjarnegara, Syekh Jumadil Kubra di Batang, hingga Kiai Kasan Mukmin di Sidoarjo. Mereka semua berakar di pesantren. Di sanalah iman bertemu perlawanan.
Bagi penjajah, pesantren adalah ancaman. Maka mereka menanamkan ide bahwa pendidikan Islam kuno, sementara sekolah modern simbol kemajuan.
Ketika Gubernur Jenderal van der Capellen berkuasa (1816–1826), sekolah-sekolah Belanda mulai diajarkan pada anak pribumi. Bahasa Belanda, Melayu, dan huruf latin jadi alat “pencerahan.” Tapi sejatinya, itu alat kontrol.
Dalam surat edaran tahun 1819, Van der Capellen menulis bahwa kemampuan baca tulis perlu disebarluaskan agar penduduk pribumi “lebih mudah menaati hukum negara.”
Setelahnya, Gubernur Jenderal van den Bosch (1831) menjadikan sekolah gereja sebagai sekolah pemerintah. Urusan pendidikan dan agama disatukan.
Pendidikan Islam makin dipinggirkan. Pemerintah penjajahan sadar: Islam yang kuat berarti semangat anti-penjajahan yang sulit dipadamkan.
Di titik ini, Snouck Hurgronje muncul sebagai arsitek kebijakan. Ia menasihati: “Perkembangan ibadah masyarakat Muslim tak bisa dihindari, biarkan mereka beribadah. Tapi awasi pendidikannya. Sebab dari pesantrenlah sikap anti-penjajahan akan lahir.”
Atas usulnya, lahir kebijakan memisahkan Islam spiritual dari Islam politik. Snouck menyarankan agar kalangan adat dan priyayi diaktifkan untuk menandingi kaum santri.
Dengan begitu, penjajahan bisa menciptakan konflik internal antarpribumi: antara pengikut adat dan pengikut agama.
Pemerintah Hindia Belanda lalu merangkul kalangan priyayi melalui kerja sama kebudayaan dan pendidikan Barat. Anak-anak mereka disekolahkan dengan kurikulum penjajah—bukan untuk berpikir bebas, tapi untuk melestarikan adat dan menolak gerakan santri.
Pada akhirnya, semua kebijakan ini diarahkan untuk melemahkan pendidikan Islam. Snouck bahkan mencatat dalam laporan 1890, sekolah Kristen berkembang lebih cepat dari pesantren. Ia ingin menjadikan Indonesia modern dengan gaya Barat, bukan Indonesia yang berakar pada Islam.
Kebijakan Sekolah Zending dan Ordonansi Guru menjadi puncak dari strategi penjajahan mematikan pesantren secara perlahan.




Tinggalkan Balasan