Musibah robohnya musala asrama putra Ponpes Al Khoziny mengguncang Sidoarjo. Di balik duka itu tersimpan sejarah panjang pusat keilmuan yang pernah melahirkan para ulama besar Nusantara.
KOSONGSATU.ID—Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran, Sidoarjo, tengah berduka. Pada Senin, 29 September 2025, musala di asrama putra ambruk dan menimpa sejumlah santri. Sebanyak lima belas ambulans dikerahkan untuk evakuasi. Hingga Ahad (5/10), 36 korban meninggal berhasil dievakuasi dan 27 lainnya masih hilang.
Proses pencarian korban masih berlangsung di tengah puing-puing bangunan yang rata dengan tanah.
Pesantren Al Khoziny dikenal sebagai salah satu pesantren tertua di Jawa Timur. Lembaga ini berdiri pada awal abad ke-20 dari gagasan KH Raden Khozin Khoiruddin dan putranya, KH Moch Abbas, yang baru kembali dari menuntut ilmu di Makkah.
“Perkiraan kami pondok ini sudah ada sejak 1915–1920. Itu berdasar catatan santri pertama KH Moch Abbas dan cerita alumni sepuh,” kata Kiai Salam Mujib, pengasuh Pesantren Buduran, dikutip dari NU Online, Rabu (1/10).
Awalnya, pondok ini mengajarkan pendidikan salaf dengan sistem berjenjang: ula, wustha, dan ulya. Para santri mempelajari kitab kuning dengan fokus pada tauhid, fiqih, nahwu, dan tafsir. Pada masa KH Moch Abbas, pendidikan formal mulai diperkenalkan. Tahun 1964 berdirilah Madrasah Tsanawiyah Al Khoziny, disusul Madrasah Aliyah pada 1970, serta Madrasah Ibtidaiyah tak lama kemudian.
Setelah KH Moch Abbas wafat pada 1978, tongkat kepemimpinan berpindah ke KH Abdul Mujib Abbas yang membawa pesantren ke era baru. Pada 1982, ia mendirikan Sekolah Tinggi Diniyah yang kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam (IAI) Al Khoziny. Kini lembaga ini menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terkemuka di Sidoarjo.
Dari Siwalan Panji ke Buduran
Wilayah Buduran tak bisa dilepaskan dari Siwalan Panji, kawasan yang sejak abad ke-18 dikenal sebagai ladang tumbuhnya ulama besar Nusantara. Di sinilah berdiri Pesantren Al-Hamdaniyah, didirikan tahun 1787 oleh Kiai Hamdani dari Pasuruan.
Dari pesantren inilah muncul nama-nama besar seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH R. As’ad Syamsul Arifin, Mbah Hamid Pasuruan, KH Nachrowi Thohir, hingga KH Moch Khozin sendiri.
Kiai Moch Khozin awalnya adalah santri di Siwalan Panji yang kemudian menikah dengan putri Kiai Abdurrohim, pengasuh Al-Hamdaniyah. Dari pernikahan itu, ia dianugerahi enam anak, lalu menikah lagi dengan putri Kiai Ya’qub dan dikaruniai seorang putra bernama KH Moch Abbas.
Pada 1927—versi lain menyebut 1926—Kiai Khozin mendirikan pesantren baru di Buduran sebagai tempat tinggal dan dakwah bagi KH Moch Abbas yang baru pulang dari Makkah. Dari sinilah lahir Pesantren Al Khoziny, yang kemudian berkembang menjadi cabang keilmuan dari tradisi besar Siwalan Panji.
Tinggalkan Balasan