Kita mungkin tak lagi dijajah oleh bangsa, tapi kita masih dijajah oleh cara pandang.

KOSONGSATU.ID–Penjajahan yang dulu datang lewat kapal, kini hadir lewat kamera dan server. Dan meski dunia terasa lebih terbuka, justru semakin sulit membedakan mana pandangan dunia yang asli dari kita — dan mana hasil algoritma yang membentuk selera kita.

Dunia yang Ditulis Ulang oleh Mesin

Di era digital, Orientalisme tak lagi lahir dari peneliti atau politisi. Ia tumbuh dari data, gambar, dan rekomendasi konten.

Algoritma media sosial dan platform berita bekerja dengan pola yang sama seperti orientalisme lama: membingkai dunia dengan narasi dominan.

Coba perhatikan: Ketika ada berita tentang perang, Timur ditampilkan dengan api, asap, dan wajah marah. Ketika Barat berperang, yang tampil adalah strategi, teknologi, dan diplomasi.

Ketika ada bencana di Asia, yang ditonjolkan adalah “chaos”. Tapi ketika terjadi di Eropa, yang muncul adalah “keteguhan dan kemanusiaan”.

Inilah bentuk baru orientalisme — framing algoritmik.

Mesin belajar dari pola yang sama yang selama ini dibangun oleh media global: Timur = masalah, Barat = solusi.

Hollywood dan Imajinasi yang Dikuloni

Film dan serial global, sejak lama, menjadi pabrik imajinasi orientalis. Dari Aladdin sampai Homeland, dari Indiana Jones sampai American Sniper — Timur selalu digambarkan sebagai latar eksotik, penuh bahaya dan misteri.

Tokohnya jarang jadi subjek utama. Biasanya hanya figuran yang menambah aroma “liar” dalam kisah petualangan sang pahlawan Barat.

Kini, streaming platform melanjutkan pola itu dengan cara yang lebih halus: representasi yang terkontrol. Timur ditampilkan lebih berwarna, tapi tetap dalam bingkai yang “aman” bagi pasar Barat. Yang spiritual dianggap aneh, yang modern harus tampil seperti mereka, dan yang berani melawan sistem disebut ekstrem.

Ketika AI Menyerap Bias Lama

Yang lebih menakutkan lagi: bias orientalis kini diserap ke dalam kecerdasan buatan (AI). Sistem seperti image generator, machine translation, dan text model belajar dari miliaran data yang sebagian besar berasal dari wacana Barat.

Maka jangan heran bila AI menggambarkan “orang Arab” dengan pakaian perang, atau “orang Asia Tenggara” dengan pasar kumuh dan sawah, sementara “orang Eropa” selalu muncul di ruang modern dengan pencahayaan putih.

AI tidak netral. Ia adalah cermin raksasa dari prasangka global. Dan di sinilah teori Edward Said menemukan relevansi barunya: Orientalisme kini tak lagi ditulis dengan pena kolonial, tapi dengan kode digital.

Melawan dengan Menulis Ulang Dunia

Melawan orientalisme digital tidak bisa dilakukan dengan marah, tapi dengan membangun narasi alternatif. Kita harus hadir — menulis, mencipta, dan memproduksi — bukan sekadar menjadi konsumen citra tentang diri kita sendiri. Karena algoritma hanya mengenali dunia dari apa yang kita perbincangkan.

Bayangkan jika lebih banyak film, artikel, dan karya digital yang menampilkan Timur sebagai pusat gagasan, bukan latar eksotik. Bayangkan jika AI dilatih dengan kisah dari Nusantara, Persia, India, dan Tiongkok — bukan hanya dari arsip Barat.

Barangkali, untuk pertama kalinya sejak ratusan tahun, dunia akan melihat Timur sebagaimana adanya: bukan bayangan, tapi sumber cahaya.

“Penjajahan hari ini bukan soal siapa yang memegang senjata, tapi siapa yang menulis narasi.” — Refleksi Edward Said, jika ia hidup di zaman algoritma.***