Kasus lama diangkat lagi, narasi seragam digulirkan—tapi siapa sebenarnya yang sedang mengatur nada serangan terhadap pesantren?

KOSONGSATU.ID–Pasca ambruknya mushalla Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo dan viralnya video “Xposed Uncensored” di Trans7, citra pesantren kembali diguncang. Narasi yang muncul di media arus utama seragam: pesantren disebut ruang rawan pelecehan seksual. Padahal, sebagian besar kasus yang diangkat belum diverifikasi. Pertanyaannya, siapa yang mengorkestrasi opini ini?

Mengutip hasil riset Samudrafakta (2025), hanya 19 persen kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan terjadi di pesantren. Namun media justru membangun framing seolah lembaga pesantrenlah sumber masalah.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun pernah menyatakan curiga ada pihak yang sengaja mengibarkan isu ini untuk merusak kepercayaan publik. “Jangan-jangan ini sengaja dibuat,” ujarnya di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sementara itu, data PPIM UIN Jakarta juga menunjukkan tingkat kerentanan kekerasan seksual di pesantren tergolong rendah. Plh Direktur Pesantren Kemenag Yusi Damayanti menegaskan, pesantren kini justru makin terbuka dan kolaboratif.

Tapi, teori Agenda Setting mengingatkan: media bisa menentukan siapa musuh publik. Dan kali ini, pesantren tampak dijadikan kambing hitam.

Di tengah krisis etika dan jurnalisme algoritmik, pesantren menghadapi perang opini digital. Namun seperti dulu saat resolusi jihad diserukan, pesantren tetap berdiri menjaga akhlak dan ilmu bangsa. Kini saatnya publik ikut bertanya—siapa yang sebenarnya diuntungkan dari rusaknya marwah pesantren?

Selengkapnya baca di sini.