Bupati Jombang memuji Rumah Syukur Shiddiqiyyah—rumah layak huni yang dibangun lintas-iman, gratis, bagi rakyat yang ‘belum benar-benar merdeka’ secara ekonomi— sebagai wujud cinta tanah air.


KOSONGSATU.ID—Di tengah upaya bangsa menjaga semangat gotong royong dan keberagaman, satu program menyita perhatian dan menuai pujian dari pemerintah daerah: pembangunan Rumah Syukur Kemerdekaan Indonesia Layak Huni Shiddiqiyyah (RSKILHS).

Saat prosesi peletakan batu syukur digelar serentak oleh warga Tarekat Shiddiqiyyah di berbagai daerah pada Ahad (22/6), Bupati Warsubi hadir langsung di salah satu titik pembangunan di Jombang, dan memberikan apresiasi yang tulus.

“Ini sungguh luar biasa,” ucap Warsubi penuh haru. “Rumah-rumah ini dibangun bukan hanya untuk umat Islam, tapi juga untuk warga yang Nasrani, Hindu, Budha. Ini bukan hanya soal rumah, ini tentang kemanusiaan dan persatuan bangsa.”

Bupati Jombang bahkan memberikan dana motivasi sebagai bentuk dukungan resmi pemerintah kepada panitia pembangunan. Bagi dia, apa yang dilakukan Shiddiqiyyah adalah pengingat kuat bahwa cinta Tanah Air tidak harus selalu dalam bentuk kata-kata, tetapi bisa hadir sebagai tindakan nyata—seperti membangun rumah bagi rakyat yang belum menikmati kemerdekaan sejati.

RSKILHS bukan sekadar program sosial. Ini adalah warisan spiritual dan nasionalisme dari Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah, Syekh Muchammad Muchtarullo Al- Mujtabaa Mu’thi.

Sejak 24 tahun lalu, program ini digulirkan lewat arahan beliau, tanpa proposal ke pemerintah atau lembaga mana pun. Semua rumah dibangun atas dasar gotong royong para murid, sebagai wujud syukur atas dua peristiwa besar: Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 18 Agustus 1945.

Hingga 2025, total 2.227 unit rumah telah dibangun, dengan nilai swadaya mencapai sekitar Rp110 miliar. Tahun ini saja, menyambut HUT ke-80 kemerdekaan Indonesia dan berdirinya NKRI, sebanyak 135 unit Rumah Syukur akan diselesaikan dan diserahkan secara gratis kepada masyarakat.

Tanggal 22 Juni dipilih sebagai awal pembangunan berdasarkan petunjuk spiritual Sang Mursyid, yang mengaitkannya dengan hari lahir Piagam Jakarta—naskah sakral awal kelahiran Pancasila.

“Pesan Sang Guru kepada kami jelas,” kata Joko Herwanto, Ketua ORSHID, “Jangan menyusahkan pemerintah. Tapi lihat apa yang bisa kita berikan untuk negara ini.”

Bupati Warsubi melihat itu bukan sebagai slogan kosong, melainkan sebagai realitas yang hidup.

“Apa yang dilakukan Shiddiqiyyah adalah bentuk nyata dari pengabdian. Ini sangat membantu kami sebagai pemerintah. Bukan hanya menyentuh sisi sosial, tapi juga spiritual dan kebangsaan,” katanya.

Dalam dunia yang semakin terkotak-kotak, Rumah Syukur Shiddiqiyyah menjadi jembatan. Di atas fondasi batunya tertulis nilai-nilai Pancasila, di bawah atapnya bernaung harapan banyak keluarga. Dan dalam tiap rumahnya, tersimpan semangat: bahwa Indonesia adalah rumah bersama, dan tak satu pun anak bangsa boleh merasa asing di tanahnya sendiri.***