Dulu rumahnya berdinding keropos miring dan sering terendam banjir. Kini, berkat gotong royong OPSHID, Sumar Sahid dan Supiyatun punya Rumah Syukur—tempat baru untuk menanam syukur dan harapan.

KOSONGSATU.ID — Di Dukuh Glonggong, Desa Tempursari, Kecamatan Wungu, berdiri calon bangunan yang menjadi simbol kebangkitan: Rumah Syukur Layak Huni Shiddiqiyyah Fatchan Mubina. Sebelumnya, di tempat ini berdiri rumah tua milik Sumar Sahid (60) dan istrinya Supiyatun (55)—bangunan reyot berdinding bambu, miring, dan berlantaikan tanah. Saat musim hujan, air sering masuk hingga setinggi lutut orang dewasa.

Jika banjir datang, keluarga itu mengungsi sementara ke mushala dekat rumah, lalu kembali begitu air surut. “Hujan deres, angin, tetep di rumah. Berdoa, semoga tidak ada apa-apa,” tutur Supiyatun lirih.

Bagi mereka, rumah rapuh itu bukan sekadar tempat berteduh, melainkan ruang belajar bersyukur. “Adanya seperti ini ya kita terima, yang penting diberi sehat sudah alhamdulillah,” kata Sumar Sahid.

Rumah lama keluarga Sumar Sahid. – OPSHIDMEDIA

Harapan Tumbuh dari Tanah Becek

Perubahan nasib itu datang ketika perwakilan Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah (OPSHID) Madiun berkunjung, membawa kabar bahwa keluarga Sumar akan menerima rumah baru.

Alhamdulillah, mungkin doa-doa kami dijabah Allah. Lewat OPSHID kami dapat bantuan rumah,” ujarnya, dengan mata berkaca.

Pembangunan dimulai dengan pembongkaran rumah lama pada 16 September 2025, lalu peletakan Batu Syukur empat hari kemudian. Karena daerah itu rawan banjir, pondasi rumah baru ditinggikan hingga satu meter.

Progres pembangunan Rumah Syukur untuk keluarga Sumar Sahid. – OPSHIDMEDIA MADIUN

“Biasanya rumah mereka tenggelam, jadi kami naikkan pondasinya,” jelas Pujiantoro, penanggung jawab pembangunan Rumah Syukur Madiun. Targetnya, rumah berukuran 5×7 meter ini rampung sebelum peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2025.

Sumar Sahid mengaku tak bisa banyak membalas selain dengan doa. “Matur suwon yang sebesar-besarnya. Alhamdulillah sebesar-besarnya,” ucapnya.

Dari Ayam Tiren Jadi Harapan Hidup

Sehari-harinya Sumar Sahid bekerja sebagai peternak lele. Karena tak sanggup membeli pakan, ia memanfaatkan ayam mati mendadak (tiren) dari warga sekitar untuk dijadikan pakan ternak. Dari situ, ia membuktikan bahwa keterbatasan bisa diubah menjadi penghidupan.

“Ternak lele sudah dari tahun 2000. Sempat berhenti, ganti kambing, puyuh, menthog, semua gagal. Akhirnya kembali ke lele,” ceritanya.

Kini hasil panen tak selalu stabil, tapi semangatnya tetap nyala. Ia masih berjuang memberi nafkah di tengah kondisi fisik yang tak lagi kuat setelah patah tulang. Supiyatun pun sejak tiga tahun terakhir menderita sakit lutut yang membuatnya sulit berdiri lama.

Namun pasangan itu tak menyerah. “Secara normal sehat, walau sebenarnya sakit. Tapi ya alhamdulillah,” ucap Sumar pelan.

Menanam Syukur, Memetik Keteguhan

Mereka memiliki dua anak: Tamyiz Masruri (34), tukang plafon yang telah berkeluarga, dan Riza Ainur Rohma (26) yang kini tinggal di Purwokerto bersama suaminya. Meski hidup sederhana, pendidikan anak-anak tetap mereka perjuangkan.

“Yang penting pendidikannya anak bisa berjalan bagus. Kita selalu bersyukur,” ujar Sumar. “Ibarat menangis darah, kalau kondisinya begini ya disyukuri.”

Kini, di atas pondasi baru itu, tumbuh rumah yang bukan sekadar tempat tinggal—melainkan wujud nyata dari doa panjang dan ketabahan hidup. Rumah yang menjadi pemupuk rasa syukur di tengah derasnya ujian hidup.***