Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut Sir Thomas Stamford Raffles sebagai perampok budaya besar. Pernyataan itu merujuk pada penyerbuan Keraton Yogyakarta pada Juni 1812 yang menjarah ribuan naskah, pusaka, dan harta keraton.
KOSONGSATU.ID — Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyebut Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811–1816), sebagai “perampok budaya luar biasa”. Pernyataan ini ia lontarkan saat taklimat media pengembalian fosil koleksi Eugene Dubois di Museum Nasional, Jakarta, Kamis (2/10).
“Raffles ini ya perampok budaya yang luar biasa, kalau boleh disebut perampok gitu ya, karena dalam Geger Sepehi itu dia mengambil, merampok Keraton Yogyakarta luar biasa pada bulan Juni,” kata Fadli.
Ia mencontohkan dua prasasti penting yang raib saat itu: prasasti Pucangan yang kini berada di India dan prasasti Sangguran yang tersimpan di Skotlandia.

Rampok Ribuan Naskah Jawa
Catatan sejarawan menyebutkan ribuan naskah ikut hilang dalam peristiwa tersebut. Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Djoko Suryo, dalam buku Jejak Sepak Terjang Raffles di Pulau Jawa, menyebut lebih dari 7.000 naskah era Hamengku Buwono II dijarah ke Inggris. Selain itu, harta keraton senilai 800 ribu dolar Spanyol disita Raffles bersama Residen John Crawfurd.
Sementara rampasan pribadi Jenderal Gillespie mencapai 15 ribu poundsterling dalam bentuk emas, perhiasan, dan mata uang, setara 500 ribu pound saat ini. Semua hasil jarahan itu diangkut ke Benteng Vredeburg.
Sultan Hamengku Buwono II bahkan dipaksa menyerahkan keris dan perhiasan emasnya. Pedang dan belati milik Sultan dikirim Raffles ke Lord Minto di India sebagai simbol penyerahan kedaulatan.
Selama empat hari, senjata, gamelan, wayang, arsip, dan naskah dipindahkan dari keraton ke karesidenan.
Eropa ‘Menyandera’ Naskah Jawa
Sejarawan Inggris Peter Carey dalam Kuasa Ramalan Jilid II menulis Crawfurd membawa sedikitnya 45 naskah berbahasa Jawa yang kemudian dijual ke British Museum pada 1842.
Raffles sendiri menguasai sekitar 55 naskah yang dikirim ke Bogor pada 1814. Kolonel Colin Mackenzie membawa 66 naskah ke Benggala pada 1813 sebelum dibeli Perpustakaan East India Company.
Menurut Carey, sebagian besar harta itu kini tersimpan di British Museum. Sebanyak 140 koleksi milik Raffles disumbangkan Sophia Hull, istri keduanya. Koleksi itu mencakup gamelan, lukisan, batik, hingga kepala patung Buddha Borobudur.
“Naskah-naskah kuno Indonesia tersimpan di British Library. Mereka memiliki 500 manuskrip, 250 di antaranya berbahasa Jawa, sisanya Melayu, Bugis, Makassar, Batak, dan Bali,” ujar Carey.
Ben Sanderson, Kepala Pers British Library, menjelaskan museum di London membeli koleksi Crawfurd pada 1842, sementara koleksi Mackenzie masuk ke Perpustakaan East India Company pada 1823.
“Nilai koleksi ini sukar dihitung. British Museum membeli koleksi Crawfurd seharga 516 pound. Bila dihitung dengan inflasi, nilainya kini sekitar 50 ribu pound atau lebih dari Rp726 juta,” kata Sanderson.***
Tinggalkan Balasan